28 Agustus 2009

Kusampaikan Klangenanku, sebuah monolog

Tidak dengan sengaja, sore selepas sholat Isya' saya coba mendekati mbak ( demikian saya biasa memanggil anak sulungku ) ketika dia sedang asik-asiknya memelototi laptoknya, dan sayapun mendapatkan mbak sedang membuka sebuah blog tentang seni sastra ( mungkin sedang mencari bahan untuk pelajarannya ).
Ketika saya tidak dengan sengaja, tertarik pada sebuah monolog yang sedang dibuka oleh si Mbak, disini dan aku mencoba membacanya... beberapa saat kuingin sekali menampilkan kembali semuanya disini untuk klangenan saya.

MONOLOG

Anak Kabut
Oleh: Soni Farid Maulana

(cahaya biru berlapis kehijauan jatuh di atas permukaan kayu, semacam meja tulis, atau meja apapun. Di balik cahaya tersebut, tampak seorang perempuan tengah duduk termenung. Sesekali tarikan nafasnya yang berait itu terdengar. Wajah perempuan yang berada di balik cahaya itu seperti bayang-bayang. Saat itu malam begitu larut. Cahaya tersebut masih seperti itu ketika perempuan tersebut tengah berkata-kata).

Tatolah aku, kekasihku, dengan segenap cintamu. Janganlah ragu, gambarlah seekor naga mungil pada kedua belah payudaraku. Sungguh aku tidak suka gambar kupu-kupu atau bunga. Keduanya tidak melambangkan jiwa kita yang liar—keluar masuk nilai-nilai dari malam ke malam, dari pintu ke pintu diskotik. Disergap asap rokok. Irisan cahaya melambungkan jiwa kita pada impian Amerika atau impian apa saja.

Tatolah aku, kasihku, jangan ragu walau ayah dan ibuku tidak setuju. Dulu, ya, dulu. Tato memang simbol napi tapi sekarang lain maknanya. Ia sumber keindahan, semacam aksesoris, semacam tanda, postmodern di akhir abad 20. ya, memang, sejak 12000 tahun sebelum masehi orang sudah mengenal tato. Tapi adakah mereka seberani aku? Kasihku, jangan ragu, tatolah aku, aku tak mau kalah dengan ratu Alexandra yang hidup di abad 19 di Rusia.

Apa? Pencemaran darah, hepatitis B? Jangan takuti aku dengan hal demikian. Kasihku jangan ragu, tatolah tubuhku dengan segenap cintamu. Buatlah aku bahagia karenanya jangan pedulikan apa kata orang. Sungguh jiwa kita yang lapar dan liar ini perlu semacam perlambang, semacam pegangan nilai-nilai; setelah keasingan demi keasingan melontarkan kita pada sehampar dunia tak dikenal. Ya, betapa banyak tanda dan ayat dihadapanku, tapi aku salah menangkap makna*. Selalu kegelapan bersambung kegelapan yang kujelang; setelah kehidupan malam setelah nilai demi nilai berubah makna lebih cepat dari putaran jarum jam.

Tatolah tubuhku, jangan ragu dengan gambar yang permanent dengan model yang mutakhir. Aku tidak suka dengan tato temporer yang akan lenyap dalam waktu dekat, di masa tua nanti tidak punya kenangan yang bisa aku banggakan pada anak-cucuku. Sekali lagi aku minta padamu tatolah kedua belah payudaraku dengan gambar naga, naga cintamu yang jantan itu, yang menggairahkan itu dari malam ke malam membunuh kesepian yang menghadang di depan. Jangan ragu tatolah jiwaku yang lapar dan liar ini dengan jarum cintamu yang tajam dan runcing bertinta putih.

Hahahaha (perempuan itu tertawa. Cahaya sedikit demi sedikit benderang dengan warna netral). Ini pasti bukan sajak Saini KM. Saya berani bertaruhbahwa Saini KM tak akan berani menulis larik-larik puisi yang liar seperti ini:
‘tatolah jiwaku yang lapar dan liar ini dengan jarum cintamu yang tajam dan runcing bertinta putih’.

Sialan, semakin dihayati, puisi ini semakin menggelorakan gairah terpendam. Gairah yang bertahun-tahun sudah lenyap dari dadaku. Ya, bertahun-tahun sudah aku jadi tawanan kehidupan yang tidak jelas bentuk dan rupanya. Sungguh, bertahun-tahun sudah yang aku hadapi adalah anyir darah. Ya, amis darah yang melayah di gigir hari, yang menetes dari tubuh-tubuh tak dikenal.

Masih jelas dalam ingatanku, akan jerit tangis yang tertahan itu, aku dan kaumku saat itu tak lebih dari hewan qurban, yang dengan liar dan ganas dimangsa orang-orang berhati serigala. Ya, masih segar dalam ingatanku bagaimana aku dimangsa orang-orang berhati Nero di tengah-tengah kobaran api yang melahap bangunan demi bangunan bertingkat, sementara di jauhnya orang-orang lapar berteriak dengan suara-suara yang aneh sambil menggasak berbagai benda apa saja yang ada di hadapan dirinya.

Dan kini apa artinya reformasi? Apa artinya menangisi nasib hitam yang telah meruntuhkan jiwaku ke dalam kelam?
Apakah hukum telah berpihak pada orang-orang seperti diriku atau malah dibuang ke dalam tong sampah untuk kemudian dilenyapkan dengan guyuran bensin dan kobaran api, apa jadinya?

Mengapa penderitaan yang demikian hitam menimpa diriku dan teman-temanku hanya dianggap isapan jempol belaka? Orang bilang komnas HAM akan memperjuangkan nasibku hingga mendapat keadilan yang setimpal dengan apa yang aku derita. Tetapi kenyataannya semua itu hanya ramai diperbincangkan di koran-koran, sementara barisan pemerkosa yang bermuka garang itu tak pernah bisa ditemukan batang hidungnya. Demikian pula dengan para penembak gelap yang membunuh mahasiswa juga kekasihku tak pernah pula bisa ditangkap dan bahkan diseret ke muka pengadilan.

Adakah yang terjadi di bula Mei itu akan juga dianggap sebagai fiksi semacam lakon drama yang dibikin haru dan sedih?

Tidak. Semua itu adalah kenyataan yang tidak bisa kuhapus begitu juga dalam ingatanku dan juga ingatanmu yang memperkosa diriku dengan muka yang menyebalkan. Sekali lagi pembunuhan yang terjadi di bulan Mei tidak bisa pula kau hapus dari ingatanmu meski saat ini kau tenang-tenang saja duduk sambil menghisap rokok kesukaanmu di tempat yang jauh. Yang jauh.

Aku yakin kau dan aku sama menderitanya kecuali dirimu telah menjelma iblis yang merajai kegelapan. Dengar, dengan segenap penderitaanku aku kutuk kau hingga hari perhitungan kelak yang tiada seorang pun bisa mengelak dari kepastian hukumNya.

Ya Tuhan yang maha pengasih aku serahkan padaMu. Semata padaMu.

Hening. Sesekali terdengar tiang listrik dipukul orang.

Sayup-sayup terdengar suara hujan yang demikian keras. Perempuan itu bangkit dari tempat duduknya, seperti menuju sebuah jendela terbuka. Lalu balik lagi ke arah semacam meja tulis bagian depannya. Suara nafasnya yang berat terdengar.

Kini setiap malam tiba selalu aku rindukan kekasihku hadir disisiku tidak sekedar membelai rambutku, tetapi juga memelukku. Tapi dimana kekasihku berada? Orang-orang bilang tubuhnya hangus dibakar api. Entah apa kesalahannya, sebagian mengatakan ia mirip dengan intel, sebagian lagi mengatakan mirip dengan provokator dari pihak lawan?

Sungguh, semua tuduhan itu tidak benar. Mana mungkin ia berani melakukan hal yang tidak diketahui dan dikuasainya. Ia hanya seorang buruh bangunan yang kerjanya serabutan. Ia memang punya gelar lulusan sebuah perguruan tinggi ternama di negeri ini. Sayangnya, ia tidak punya koneksi hingga tidak bisa jadi pegawai negeri. Karena tidak punya uang jutaan rupiah sebagai uang pelicin. Mereka yang berkuasa di negeri ini dihadapan dirinya benar-benar telah menjelma seekor naga yang lapar dan liar memangsa apa saja.

O kau yang mati di tengah-tengah kerusuhan. Sejumlah orang tak dikenal mengejar dan menyuruhnya masuk ke dalam sebuah bangunan bertingkat, yang setelah itu kemudian dibakarnya gedung tersebut sehabis sejumlah barang-barang yang ada didalamnya dijarah mereka.

O dari dunia mana mereka datang? Apa agama mereka? Mengapa api dan batu harus bicara? Mengapa mereka yang jelas-jelas telah menghancurkan bangsa dan negeri ini kedalam jurang peradaban yang hitam pekat ini masih ongkang-ongkang kaki, bebas dari segala tuntutan hukum? Negeri apakah ini, kok berani-beraninya seorang terpidana tindak korupsi mengajukan diri jadi calon Walikota, Bupati, Gubernur, malah Presiden?

Ya Allah, apa yang sesungguhnya tengah terjadi dengan diriku saat ini? Betapa dari tahun ke tahun aku tidak bisa menghanguskan rasa rinduku pada kekasihku yang kini entah dimana.
Aku masih ingat bagaimana ia pada sebuah malam hari dan tanggalnya kulupa, menulis sebuah puisi untukku, yang kemudian dibacakannya dengan tekanan suara yang malu-malu karena gelora cinta meluap-luap di dadanya.

Saat itu ia duduk di sebelahku sambil membaca sebuah puisi yang baru selesai ditulisnya. Demikian puisi itu dibacanya: duduk di bangku kayu, menghayati sorot matamu yang kelam oleh kabut dukacita aku temukan bintang mati bintang yang dulu berpijar dalam langit jiwaku. Aku temuka kembali-begitu hitam dan gosong dan kau menjerit terpisah dari cintaku.

Dengarkan aku bicara, suaraku bagai ketenangan air sungai, bagai keheningan batu-batu dasar kali melepas bau segar tumbuhan. Bila hari kembang, suaraku membangun kehidupan yang porak poranda oleh gempa peradaban. Ya, kutahu kota yang gemerlap menyesatkan rohanimu dari jalanku. Hanya ini yang bisa kuberikan padamu: rasa gula yang terperas dari tebu jiwaku. Reguklah, biar jiwamu berkilau kembali. O, bintang yang dulu benderang dalam langit jiwaku.

(terdengar batuk tiga kali dengan tarikan nafas yang terasa berat. Di liar hujan mungki sudah berhenti. Tiba-tiba terdengar suara ledakan dengan amat kerasnya. Perempuan itu segera mendekat ke arah jendela kaca, yang dibiarkan terbuka sejak awal pertunjukan. Dalam pandangan matanya ia seperti melihat kobaran api yang menjulang ke langit jauh.)

Ya Tuhan, apa yang terjadi dengan bangunan bertingkat itu? Adakah suara ledakan yang aku dengar itu adalah suara bom? Jika ya, mengapa bom sering benar meledak di negeri ini? Tangki air mata nyata saat ini tidak hanya bedah di Aceh, Ambon, Bali, Jakarta dan kota-kota tak terduga dalam peta. Tetapi juga bedah dalam diriku. Aku masih ingat bagaimana kata-kata yang diucap oleh lelaki yang menghinakan diriku itu disuarakan dengan nada yang keras dan penuh kebencian.

Perempuan, katanya. Kau Cuma daging yang tidak hanya enak dipandang tetapi juga ditunggangi. Kau tidak lebih dari akar malapetaka di bumi ini. Kaulah yang menyebabkan kejatuhan Adam dari tanah sorga. Dan kini aku menderita harus menanggung segala siksa. Demi segala rasa haus dan lapar sirna dari tubuhku, ayo buka bajumu. Saat itu aku benar-benar takut melihat pandang matanya yang merah padam seperti orang mabuk yang kerasukan setan. Dengan kasar, pakaianku dibukanya secara paksa. Tubuhku diseretnya ke pojok bangunan yang gelap. Dan dengan buas dilahapnya diriku tanpa ampun.

Aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa

O, rasa sakit itu tidak hanya bersumber di pangkal paha. Tetapi bersumber di seluruh tubuhku, jiwaku, dan bahkan nyawaku tak kuat menanggungnya. Dan kini aku terus dikejar bayang-bayang yang menakutkan.

Engkau benar cintaku, kita lahir sebagai dongengan. Peran yang kita mainkan adalah kehidupan yang kelam, lebih hitam dari aspal jalanan.

(sunyi. sesekali terdengar suara sirine meraung-raung. Dengan amat kerasnya. Perempuan itu sejurus menarik napasnya kuat-kuat, lalu kembali duduk di tubir meja semacam meja tulis tadi. Cahaya lampu kembali biru berlapis kehijauan. Sunyi.)

Saat seperti ini, aku ingat bagaimana kau berkata untuk terakhir kalinya, sebelum engkau benar-benar pergi meninggalkan diriku selama-lamanya. Ya, malam itu kau tidur di rumahku. Aku begitu kangen, begitu rindu padamu. Kita tidak berbuat apa-apa saat itu. Selain berpandangan dan berpelukan, setelah kau ucap kalimat-kalimat itu, kata-kata cinta yang sangat memabukkan itu.

Telah kau tiup pintu dan jendela kamarmu. Malam yang turun berudara buruk dengarlah ringkik kuda itu, seperti hendak membekukan jantungmu! Larut malam ini aku disisimu. Aku dan kau tersenyum seakan tahu apa yang bergelora di dada. Ya, pelan dan lembut kau dengar guguran daun diluar jendela.

Kita terlahir sebagai dongengan, bisikmu. Malam larut dan sunyi.

Kita semakin koyak oleh harapan purba, Abu kelahiran kita hanya pantas jadi dongengan santapan nasib yang bengis.

(sayup tiang listrik dipukul orang)

Kekayaan kita adalah kemiskinan kita, adalah rumah kita yang lembab oleh air mata, kita hanya pantas menjadi dongengan.

Salak anjing mengusap pendengaran deru kereta memecah kesunyian kata-kata menggumpal dalam dada. Beku tak bersuara menyumpah matahari hitam digilas ruang dan waktu negeri kelam.

Kita hanya pantas jadi dongengan. Ya.

Sungguh aku tak bisa melupakan kalimat-kalimat yang kau ucap malam itu, ketika angin dingin bersiutan diluar jendela menggugurkan ribuan dedaunan. Aku tidak bisa melupakan pancaran matamu yang hangat dan lembut.

Ya, aku tidak bisa melupakan semua itu, termasuk tidak bisa melupakan kata-kata dan pancaran mata lelaki jahanam itu yang telah mereguk kegadisanku secara paksa.

O, api yang berkobar diluar dan didalam dadaku. Seberapa jarak lagikah kebahagiaan itu bisa kujelang. O, maut yang diam-diam mengintai dan mengendap dalam dadaku seberapa detik lagikah nyawa ini kau paut dari tubuh yang penuh luka ini.


Dan kini: aku mendengar langkahmu menyusuri lorong gelap jiwaku begitu teratur, bagai detik jam. Anngin dan daun-daun jatuh mempertegas sunyi yang kelak mekar pada sisa-sisa ranting patah percakapan kita.

Bulan yang memulas langit dengan warna darah: mengundang ribuan kelelawar yang terbang dari goa dadaku dengan suara aneh.

Sungguh setiap jiwaku merindu cahaya matahari. Malam terasa beku sepadat es di kulkas waktu.

Sedang doa-doa para pelayat, genangan air sisa hujan, wangi kembang setaman dan bau kemenyan beraduk jadi satu. Urat-urat syarafku terasa kaku.

O, maut, kebengisan apalagikah yang kelak kau mainkan dalam konser kematianku ini? Sedang Tuhan sulit dijangkau dari keluh-kesah kegelapanku.

(hening, terdengar tiang listrik dipukul orang berkali-kali. Cahaya panggung sedikit demi sedikit kembali netral. Perempuan itu menjatuhkan kepalanya diatas meja. Kemudian menegakkan kepalanya secara perlahan-lahan seiring dengan suara orang yang melantunkan tahrim dari sebuah masjid yang jauh.)

Jam berapa ini? Ya Tuhan betapa cepat waktu berlalu. Hidupku tidak berubah pula. Jika ini semacam ujian yang harus kutempuh dengan tangan dan kaki berdarah-darah, maka aku jalani semua ini dengan kesabaran tanpa batas.

Ya Allah yang maha pemurah. Jika semua ini adalah siksa dariMu. Semoga apa yang kualami di bumi ini menjadi tebusan bagi kehidupan di akherat kelak yang lebih baik dari apa yang aku alami hari ini.

SELESAI

( terima kasih untuk http://goesprih.blogspot.com yang telah mengispirasi untuk klangenanku )

Lanjut Kang......

16 Agustus 2009

Menyusuri Surabaya Lama, Review buat Kompetisi Soerabaja Tempoe Doeloe


Sabtu kemarin, tanggal 13 Juni 2009, saya sengaja ingin mengisi libur kali ini dengan menikmati perjalan yang dikemas dalam tajuk SURABAYA HARITAGE TRACK.
Surabaya Haritage Track adalah suatu perjalanan khusus yang dikemas sebagai suatu perjalanan mengenal tempat – tempat dan bangunan – bangunan yang bernilai sejarah yang ada di Surabaya dengan menaiki angkutan yang didesign khusus bagi para penumpangnya.
Mengapa saya ingin sekali mengikuti perjalanan ini ?, selain SHT ini tergolong masih baru juga, karena perjalanan ini menawarkan untuk menikmati gedung-gedung bersejarah dan tempat-tempat bernilai sejarah pula yang memang menjadi kegemaran saya dan tentu sangat menarik apabila perjalan ini dipandu oleh otang yang sedikit banyak mengetahui peninggalan sejarah tersebut.
Pagi jam 08.30 saya sudah sampai di komplek Café Sampoerna, dimana seluruh kegiatan ini akan mulai dan berakhir disini yaitu di Jl. Dapuan sebuah lingkungan Surabaya lama dan saya sengaja saya dating pagi dengan tanpa alasan, sebab saya sendiri tidak tahu persis kapan bis yang membawa rombongan ini akan berangkat, hanya informasi yang saya peroleh kalau bus ini biasanya berangkat pagi.
Beruntung sekali saya waktu itu, karena ternyata bus berangkat pada jam 09.00 WIB, jadi saya masih ada waktu untuk mendaftar sebagai pengikut.
Untuk perjalanan ini saya harus mendaftar terlebih dahulu dan tidak dikenakan biaya sepeserpun karena untuk perjalananan ini bus yang kami tumpangi hanya berkapsitas 20 orang, saya sendiri termasuk penumpang yang paling taerakhir untuk keberangkatan itu, karena ternyata para penumpang harus mendaftar terlebih sebelumnya.
Sebagai catatan sendiri bagi saya, sebab ternyata perjalan ini kali juga diliput oleh stasiun telivisi swasta daerah untuk bahan acara yang cukup popoler di Surabaya, dengan pemandu acaranya adalah cak Eko Tralala atau mereka menyebutnya dengan Cak ALBAROYO, sehingga dalam perjalan ini tentu akan diwarnai dengan adegan-adegan pengambilan gambar.
Tepat pukul 09.00 WIB bis yang didisaign menarik dan dipenuhi dengan gambar-2 mulai meluncur kea rah selatan dan tentu perjalan ini di Bantu seorang pemandu perjalanan. Saya bersama rombongan lain ( yang kemudian kami disebutnya dengan para TRACKER ) ke selatan menyusuri jalan yang menjadi route bus ini dan menyusuri tempat-tempat serta bangunan bersejarah sebanyak kurang lebih 46 titik, yaitu :
1. Penjara KALISOSOK: Penjara ini sudah tidak difungsikan lagi dan tempat ini terkenal dengan sebutan penjara terkejam di Surabaya.
Pada dinding-dindingnya sebelah timur sengaja diberi beraneka gambar untuk menhilangkan kesan angker pada banunan penjara ini.
2. Gedung PTPN
3. Gedung PTPN
4. Hotel IBIS, bangunan ini dulunya ditempati sebagai kantor perusahaan dan perkebunan di jaman colonial Belanda.
5. Gedung CERUTU, bangunan kuno ini disebut gedung cerutu karena, ternyata di salah satu sudut bangunannya yang menjulang tinggi tersebut pada atapnya dibanun menyerupai bentuk cerutu.

( Gedung Cerutu )
6. Gedung MARKAS KOMPENI,bangunan yang kokoh berdiri di sebelah utara Jl. Rajawali ini dulunya memang merupakan markas para kompeni,maka terlihat bangunan ini terlihat sangat kuat dengan corak banguannya yang bernuansa kolonial.
7. Bekas TERMINAL SURABAYA tempo dulu, tempat ini menempati sebelah timur dari bangunan markas kompeni yang disebut tadi, tapi sekarang tempat ini sudah berubah menjadi sebuah taman persis di depan jembatan Merah Plaza.
8. Bangunan JEMBATAN MERAH, jembatan ini dahulunya merupakan jembatan penghubung antara Surabaya lama dengan daerah perdagangan di sisi timur. Jembatan yang dibangun oleh gubernur Dandels ini disebut jembatan merah karena sejak dari dulu jembatan ini berwarna merah.
9. Bangunan HALTE TREM, bangunan yang menempat sebelah selatan Jembatan Merah dan disisi sebelah barat sungai ini, dulunya merupakan halte bagi trem-trem yang dulunya beroperasi di Surabaya.

( Gedung Markas Kompeni )
10. Gedung ASURANSI, didepan halte trem tadi berdiri berderet-deret bangunan kuno yang merupakan peninggalan jaman Belanda, dan salah satunya ini sekarang digunakan sebagai kantoe asuransi, dimana di depan terdapat patung singa bersayap yang bediri dikanan kiri pintu masuk tersebut, dan menurut cerita yang kita peroleh, bahwa patung singa bersayap dibangun sebagai tanda penjaga di masa depan.
11. Gedung PTPN XI
12. Gedumng BII
13. Gedung POLWILTABES, gedung ini sejak dulu memang difungsikan sebagai kantor polisi jaman Belanda, dimana menurut ceritanya, didalam penjara tersebut terdapat penjara bawah tanah, dan masih menurut mitosnya, bahwa penjara bawah tanah yang ada disana terhubung dengan penjara Kalisosok yang ada di sebelah utaranya, apakah hal ini betul ? silahkan anda yang membuktikannya.

( Gedung Asuransi )

( Gedung BII )

( Gedung Prima bank )
14. Gedung BANK MANDIRI
15. Gedung BOTHO GENI (?)
16. Gedung BANK PRIMA
17. Gedung PERTAMINA, dimana gedung ini dulunya merupakan sebuah gedung yang ditempati sebagai society para Kolonial Belanda.
18. Gedung INDISCHE MASCKAPAI, gedung ini dulunya merupakan gedung kantor yang memproduksi alat-alat berat.
19. Gedung ASIA
20. Gedung KANTOR GUBERNUR
21. Bangunan di sepanjang Jl. Kramat Gantung, yang menurut sejarahnya daerah ini dulunya merupakan daerah keraton Surabaya. Dan ini bisa ditelusuri kebenarannya dengan adanya Alun-Alun Contong yang ada di sisi sebelah selatan bangunan-bangunan ini.
22. Gedung KANTOR PLN
23. Gedung SIOLA, gedung ini memang selalu digunakan untuk pusat perbelanjaan warga Belanda, belanja bahan yang di import dari negeri Belanda, demikian juga setelah dikuasi oleh Jepang, gedung ini juga merupakan pusat perbelanjaan bagi orang-orang jepang untuk memperoleh barang-2 import dari Jepang.
24. Gedung BANK MANDIRI, Jl. Tunjungan
25. Gedung HOTEL MAJAPAHIT, bangunan ini memang sebuah hotel dari masa kemasa, hotel ini dalam perjalanan sejarahnya sudah 3 kali berganti nam,a Pertama ketika di kuasai oleh Belanda hotel ini bernama Hotel ORANJE, setelah dikuasai oleh jepang Hotel ini berganti nama menjadi hotel YAMATO, kemudian setelah jepang meninggalkan Indonesia Hotel ini berganti nama menjadi hotel MAJAPAHIT, di ntempat inilah terjadi sebuah peristiwa sejarah nyang sangat heroic waktu itu, yaitu, peristiwa dirobeknya bendera Belanda yang ada disana dirobek salah satu warnanya sehingga menjadi bendera merah putih.
26. Gedung KANTOR BERITA ANTARA, Gedung ini sekarang sudah menjadi gedung Monumen Pers Perjuangan Nasinal, karena dalam masanya gedung ini menjadi saksi perjuangan pers dikala itu.
27. Gedung APOTIK SIMPANG, baik bangunan dan fungsinya bangunan sejak dulu tidak pernah berubah.
28. Gedung GRAHADI, atau sekarang yang disebut dedung Negara itu berfungsi sebagai tempat tinggal dinas Gubernur Jatim, yang sebetulnya bangunan yang ada ini adalah adalah bagian belakangnya daribangunan tersebut, dan depannya adalah pintu yang menghadap Kalimas.

( Komplek Balai Pemuda )

( DPRD Tk. I )

( Patung Yos Sudarso )
29. Gedung BALAI PEMUDA, gedung ini juga dalam masanya digunakan debagai tempat berkumpulnya orang-orang Belanda yang melaksanakan pesta dan lain0lain, bahkan komplek gedung ini mempunyai masa lalu yang kelam bagi rakyat Indonesia umumnya dan warga Surabaya khususnya, sebab dulu tempat ini tidak boleh atau dilarang keras bagi pribumi masuk di areal ini, sebagai saksi atas sikap diskrimatif ini dapat anda di temui prasasti yang masih tertempel jelas di area sebelah barat gedung ini.
30. Gedung BALAI KOTA, gedung ini memang sejak dahulu digunakan sebagai kantor balai kota di jamannya.
31. Jalan ACHMAD JAIS, duluna bernama jalan ONDOMOHEN, adalah jalan yang memiliki sejarah tersendiri bagi rakyat Surabaya., karena rindangnya pohon disisi kiri kakannya yang saling berkaitan, sehingga terkesan seperti masuk dalam gua.
32. Komplek TAMAN BUDAYA, bangunan- bangunan disini dahulunya dipergunakan sebagai kantor bupati, maka komplek ini dahulu terkenal dengan sebutan komplek kabupaten.
33. Jalan PRABAN, Jalan yang sejak dahulu digunakan sebagai sentra perdagangan berbagai macam sepatu.
34. Gedung GNI, sebagian gedungnya ini sejak jaman dulu dan sampai sekarang ini digunakan sebagai kantor harian berbahsa jawa tertua di Indonesia, yaitu harian PANJEBAR SEMANGAT.
35.Gedung Rumah Sakit MARDI SENTOSA
36. Tugu PAHLAWAN
37. Gedung KANTOR POS, dulunya bangunan ini digunakan sebagai sekolah jaman Belanda setingkat SMA.
38. Gedung DPRD TK. I

( Gedung PTPN XI )
39. Gedung MASJID KEMAYORAN, masjid ini dinamakan kemayoran karena menurut sejarah, masjid ini dulunya merupakan tanah wakaf dari seorang yang berpangkat mayor.
40. Gedung Museum KESEHATAN
41. Patung YOS SUDARSO
42. Gedung PTPN XII
43. Gedung PTPN XI
44. Gedung BNI
45. Gedung BANK INDONESIA
46. Bangunan-banunan tua / pergudangan sekitar Penjara Kalisosok
Sebagai catatan tersendiri, rombongan tracker yang pagi itu besama saya, berkempatan turun dari bus dan melihat lebih dekat dengan bangunan BALAI PEMUDA dan Gedung PTPN XI,
Setelah saya menyaksikan dan diperbolehkan masuk ke gedung PTPN XI, saya dibuat kagum , sungguh didalam bangunan itu meskipun terbilang kuno, tapi masih terawat dengan baik, didalam bangunan itu tersimpan peninggalan sejarah yang sangat menakjubkan, sungguh suatu peninggalan yang harus/patut dilestarikan keberadaannya.
Untuk ini dikesempatan lain saya akan berusaha untuk menggali informasi yang lebih dalam tentang keberadaan gedung ini.
Setelah kita diajak berkeliling kota dengan bus yang bersih dan adem itu, bus kembali melanjutkan perjalanan untuk kembali ketempat dimana kita berangkat, dan kita sampai tepat pada jam 10.30 WIB, sungguh suatu perjalanan yang sangat mengesankan dan patut di beri apresiasi untuk penyelenggara program ini. Terima kasih.

Lanjut Kang......

14 Agustus 2009

Rumah WR. Soepratman, semoga biolamu tak mendendangkan rintihan

Hari-hari di Bulan Agustus ini seakan membawa suasana tersendiri bagi saya khususnya, selain Bulan ini adalah bulan untuk memperingati Hari Ulang Tahun Kemerdekaan Republik Indonesia yang ke 64, sayapun kali ini ingin sekali jelajah kota mengunjungi tempat-tempat yang mempunyai nilai historis bagi perjuangan bangsa Indonesia, sudah 3 tempat yang telah aku kunjungi beberapa tempat yang dapat mengingatkan dan menambah wawasan serta kecintaan saya pada semangat para pejuang yang telah gugur mendahului kita.
Jelajah kota untuk yang ke empat kalinya di bulan Agustus ini saya hendak mengunjungi sebuah rumah yang berada di Surabaya juga, yang belum lama ini menjadi perbingcangan di beberapa mas media, khususnya media yang ada di Surabaya, yaitu Bangunan Cagar Budaya / Rumah Wafat Wage Rudolf Soepratman, sang pencipta lagu Kebangsaan kita INDONESIA RAYA.
Menyusuri Surabaya di siang hari, sungguh membuat badan gerah karena sengatan matahari siang yang tembus ke badan, tapi tak menyurutkan saya untuk jelajah kota menengok, atau kalau tidak boleh dikatakan mengenang, salah satu rumah yang menjadi pratanda akan sepak terjang si penggesek biola ini.
Mencari rumah yang saya maksud tidaklah mudah, karena ternyata setelah saya tanya kesana kemari ke pengemudi becak barulah saya diberi arah, kemana saya harus menuju ke Jl. Mangga, seperti jelajah kota yang lain, saya selalu tidak punya data yang rinci perihal tempat-tempat yang akan saya kunjungi, tapi karena berbekal tidak malu untuk bertanya dan semangat ingin sekali menyaksikan secara dekat akhirnya dapat juga ketemu yang saya cari.
Terletak di Jl. Mangga No. 21, Surabaya, yaitu sebelah Barat dari komplek Lapangan Tambaksari, di tengah-tengah perkampungan yang padat penduduk tersebut, disinilah berdiri rumah wafat W.R. Soepratman.
Melihat keadaan rumah itu, saya seakan terkejut, bahkan nyaris tidak percaya bahwa rumah yang seharusnya bisa dirawat dengan baik, setidaknya untuk mengenang jasa beliau, terlihat seakan dibiarkan begitu saja ( mungkin tdk dirawat ) sehingga terkesan kotor dan memilukan.
Menyaksikan rumah ini pikiran saya terus melayang ke suatu tempat yang belum lama saya kunjungi juga, yaitu rumah kediaman HOS Tjokroaminoto yang ada di Jl. Peneleh itu, keadaannya hampir tidak jauh beda, hanya mungkin rumah milik pak Tjokro masih agak kelihatan di rawat.
Melihat rumah wafat milik WR Soepratman ini sungguh nanar rasanya, betapa tidak ? karena rumah ini tidak tergolong besar dan ada di tengah-tengah perkampungan padat seharusnya kalau memang tidak adanya perhatian dari pemerintah kota, setidaknya masyarakat diseklilingnya bisa juga untuk sedikit peduli terhadap rumah tersebut, yang nota bene adalah rumah cagar budaya yang harus dilindugi dan dirawat keberadaanya, untuk dijadikan bukti sejarah dimasa yang akan datang.
Rumah mungin ber cat hijau ini selain tidak luas juga tidak mempunyai halaman yang cukup didepannya, dan menurut papan yang terdapat di depan rumah ini WR. Soepratman meninggal pada 17 Agustus 1938, jadi jauh sebelum dia mengenyam kemerdekaan Bangsa ini.
Namun begitu walaupun tidak luas ternyata masih ada saja seniman yang peduli untuk mebuatkan sebuah patung replika WR Soepratman yang sedang memainkan biola, patung tersebut (menurut prasasti yang ada dibawah patung) dibuat oleh 2 orang seniman yaitu Soerachman asal Surabaya dan M Thalib Pr. dari Sidoarjo.
Rumah kecil berbentuk kerucut ini merupakan rumah wafat WR Soepratman dan oleh Pemerintah Kota dijadikan Rumah Cagar Budaya dan menurut informasi yang saya dapat, oleh pemiliknya rumah ini dijual kepada Pemkot dengan harga Rp. 4,5 Milyard.
Memang sebuah harga yang tidak kecil bagi ukuran sebuah rumah yang kecil itu, tapi setidaknya janganlah melihat nilai tersebut, tapi lihatlah nilai historis yang terkandung dalam rumah itu, disanalah pernah tinggal dan wafat seorang seniman besar bangsa Indonesia yang karyanya sekarang selalu menjadi lagi kebangsaan Indonesia.

Setelah beberapa saat saya bisa menyaksikan secara dekat rumah bersejarah itu dan sempat memotretnya di beberapa sudut, dan merasa cukup maka sayapun dengan perasaan galau kupaksanakan meninggalkan tempat yang menjadi saksi sejarah tersebut.
Saya tidak bisa membayangkan, bagaimana rumah yang seharusnya menjadi saksi kebesaran bangsa ini harus rela dalam keadaan tak terurus, kotor dan tak terawat.
Apakah ada yang peduli seperti keinginan saya ?

Lanjut Kang......

12 Agustus 2009

Makam Dr. Soetomo, Bapak Pergerakan Nasional

Jelajah kota kali ini adalah juga masih rangkaian dengan jalan-jalan saya yang sebelumnya yaitu ketika mengunjungi Rumah HOS Tjokroaminoto di Jl. Peneleh tersebut.
Jadi setelah saya selesai mengunjungi rumah tinggal pak Tjokro, dan karena waktu masih mencukupi untuk menyusuri kelain tempat maka, diputuskan untuk mengunjungi makam Dr. Soetomo yang terletak di jalan Bubutan yang tidak jauh dari lokasi yang sebelumnya.

Memasuki komplek makam Dr. Soetomo saya serasa tidak memasuki komplek sebuah tempat peristirahatan terakhir seorang pahlawan bangsa karena, memang disana tidak nampak berjajar-jajar nisan kuburan juga ternyata komplek disana di pendoponya sekarang hari-harinya digunakan untuk keperluan acara-acara perkawinan. Saya baru mendapatkan kesan teduh dan bersih ketika saya sudah di area makam Dr. Soetomo, saya harus terlebih dahulu meinta ijin kepada seorang ibu yang mungkin ibu ini diserahi tugas untuk menjaga makam disana. Setelah meminta ijin, saya dengan ramahnya dipersilahkan masuk, setelah berbicara sebentar dengan ibu tadi tentang mengapa saya datang ke tempat ini ? dan saya katakan kalau sejak dulu saya ingin sekali berziarah sekalian melihat-lihat keadaan makam Dr. Soetomo yang tiap hari saya selalu melalui jalan Bubutan ini. Memasuki makam kita seakan terkesan memasuki sebuah teras sebuah pendopo, bersih dan terawat dengan tanaman-tanaman pendek yang tumbuh subur dan hijau di kakan kiri area pemakakaman, dan baru di sebelah barat terdapat pendopo yang mana di tengah-tengahnya terdapat kuburan Bapak Pergerakan Nasional Indonesia ini. saya tidak bisa melihat lebih detail tentang makam ini, karena makam ini ditutupi kain putih sejenis kain gordyn yang bersih, sehingga kita sekan hanya melihat kain putih yang berujud menutupi seluruh badan makam.
Setelah saya puas melihat-lihat seluruh sudut-sudut komplek makam Dr. Soetomo dan berberdoa di samping makam saya pamitan kepada ibu yang sepuh tadi yang sebelumnya saya disuruh untuk mengisi buku tamu dan diberikan beberpa lembar fotokopi tentang sejarah Dr. Soetomo, sejarah makam dan sejarah yang lain yang berkaitan dengan beliau.
Sungguh sore yang sangat melegakan hati saat itu, karena di hari yang sangat panas dan gerah di Surabaya ini saya sudah dapat jelajah kota dengan mengunjungi dua tempat sekaligus, semoga di lain-lain hari saya dapat jelajah kota dengan tempat-tempat yang bagus dan menarik untuk saya nikmati.

Lanjut Kang......

11 Agustus 2009

Rumah HOS Tjokroaminoto di Peneleh VII / 29-31, Rumah Perjuangan


Ditengah-tengah perjalanan ketika saya menuju Surabaya dari Gresik, tiba-tiba saya teringat akan suatu tempat yang tidak jauh dari tempat tinggal saya, sebuah rumah di Jl. Peneleh VII, saya hanya ingat gangnya saja, untuk nomer saat itu belum tahu, berada di nomor berapa rumah yang ingin sekali saya kunjungi ini.

Setelah sekali bertanya ke orang sekitar, saya sudah bisa langsung menemukan jalan yang saya cari itu, dan tidak beberapa jauh dari mulut gang terlihatlah suatu papan pengumuman yang terpampang di depan rumah yang tidak sebegitu besar untuk ukuran rumah-rumah sekarang.
Rumah kecil bercat hijau ini adalah rumah milik Haji Oemar Said (HOS ) Tjokroaminoto, rumah yang dimasanya adalah sebuah rumah yang bisa dikatakan sebagai salah satu simbol Kebangkitan Nasional, karena dari rumah inilah dahulu tahun 1912, terjadinya perubahan Sarekat Dagang Islam menjadi Partai Sarekat Islam yang dimotori Pak Tjokro.
Rumah yang kini oleh Pemerintah Kota sekarang telah menjadi situs sejarah nasional, walaupun sebenarnya oleh para ahli waris Pak Tjokro rumah tersebut ingin dijadikan Museum Kebangkitan Nasional mengembangkan rumah tersebut menjadi Perpustakaan, namun sampai kini belum terealisasi.
Karena jaraknya tidak jauh dari jalan utama, maka apabila anda ingin menengok rumah yang memiliki sejarah yang sangat panjang, maka tidaklah akan sulit, sebab begitu adan masuk gang dan berjalan beberapa meter saja anda sudah bisa menemukan lokasinya yang ada di sebelah kanan jalan gang itu. Dan sebagai tambahan informasi, bahwa sebelum anda menemukan rumah milik HOS Tjokroaminoto anda akan menemukan sebuah "toko buku Peneleh". keberadaan toko buku ini dengan rumah HOS Tjokroaminoto tidaklah dapat dipisahkan, karena dalam masanya perpustakaan ini juga sudah sama usianya dengan rumah milik HOS Tjokroaminoto tersebut.

Jika anda sekali waku ingin mengunjungi ini anda bisa mengakses memalui jalan Peneleh, kemudian menuju arah selatan dan sebelum belok ke jembatan ( kretek bungkuk ) ada langsung belok kekiri, dan situlah anda akan menemukan Peneleh Gg. VII trus cari no. 29-31, disitulah anda akan menemukan sebuah rumah sederhana yang dulunya dalam masa kemerdekaan menjadi tempat berkumpulnya para pejuang kemerdekaan dan yang tidak kalah pentingnya, bahwa di rumah itu dulu pernah dijadikan tempat indekost seorang pemuda dan yang dikemudian hari pemuda ini yang akan menjadi pemimpin revolisoner bangsa Indonesia, dialah Soerkarno.
Dimana pemuda Soekarno yang indekost disini dalam masa pergerakan terbisa mendengar dan melihat secara langsung segala apa yang dibicarakan dan dilakukan oleh para pendahulu-pendahulunya, termasuk HOS Tjokroaminoto itu.

Lanjut Kang......

10 Agustus 2009

Festival Jajan Bangomania di Surabaya 2009

Saptu siang jam 11.30 ketika saya memasuki lapangan Brawijaya suasana di Lapangan sangat panas, berdebu, maklum memang di Surabaya belakang hari udara terasa panas.
Udara panas dan berdebu berubah menjadi senang seketika saya menyaksikan berjejer tenda-tenda putih di sepanjang lapangan tersebut.
Siang itu di Lapangan makodam, Brawijaya telah dilaksanakan FESTIVAL JAJANAN BANGO 2009, dimana festival ini dilaksanakan untuk kali ke 5, setelah beberapa kali dilaksanakan serangkaian festival sejenis di bandung dan kota yang lain dimana untuk saat ini dilaksankan sebagai penutup rangkaian Festival Bango selama tahun 2009.Festival dengan tema Jajanan Sepenuh Hati ini digelar hanya satu hari tanggal 8 Agustus 2009, di ikuti oleh berbagai macam suguhan makanan dan jajanan kuliner yang sudah memiliki kwalitas cita rasa.
Tidak kurang lebih 50 stand menjajakan wisata kuliner dari berbagai daerah yang ada di Indonesia ini, sebut saja masakan dari Tegal, Jakarta dan lain-lain kota yang menyuguhkan cita rasa yang menggelenda.
Festival ini baru dibuka jam 12.00 WIB saat panas ngentang-ngentang, dimana acara dibuka dengan acara seremonial terlebih dahulu, dari sambuta-2 sampai dengan pengguntingan pita menuju ke area festival.
Karena di acara ini saya tak ingin ketinggalan berbagai aktifitasnya, maka selalu saya ikuti acara demi acara yang disajikan oleh panitia, dari Demo memasak sampai mengikuti perjalanan ke kampung Bango, saya ikuti, bahkan di sela-sela mengikuti acara tersebut, saya malah sudah berkeliling ke tenda-tenda yang menyajikan berbagai macam masakan dan jajanan tersebut, bahkan karena memang saat itu waktunya makan siang dan perut sudah merasa keroncongan, saya gunakan untuk sekalian mencicipi hidangan yang telah disediakan, dan kali ini saya mencicipi makanan khas dari Jawa Tengah yaitu, Sop Timlo SOlo.
Setelah menikmati makan siang, saya teruskan perjalanan ini ke kampung Bango, disini kami disajikan berbagai informasi yang berhubungan dengan proses pembuatan kecap Bango, dari contoh tanaman kedelai yang menjadi bahan baku kecap, dari mulai bentuk tanaman dan pemilihan kedelai untuk kemudian dilanjutkan di proses kedalam mesin yang kemudian dari mesin ini akan dihasilkan kecap yang memiliki cita rasa melegenda, kecap Bango.
Setelah merasa puas dengan telah mengelilingi seluruh stand-stand yang ada disana, saya segera untuk meninggalkan lokasi tersebut, meskipun saya tahu disana masih lebih banyak acara yang akan digelar disana sampai jam 22.00 WIB.
Saya berharap, festival jajanan bango yang kali ini, dimana sebagai penutup rangkaian acara di tahun 2009, tidak hanya cukup sampai disiini, dan akan ada festival-festival bango selanjutnya, semoga....

Lanjut Kang......