20 September 2010

Mudik Lebaran tahun ini, pendek hari.

Sudah sejak beberapa minggu sebelum hari lebaran tiba, si kecil sudah mengacarakan sendiri mudik lebaran tahun ini.
Entah karena apa pulang lebaran ini adik ingin sekali naik kereta api, saya dan si Non sendiri heran, mengapa si kecil ini ngotot ingin pulang Magelang lebaran ini menggunakan kereta api. Ya itung-itung saya bisa santai pulang mudik ini, karena biasanya kami harus men drive sendiri kendaraan dari Surabaya ke Magelang,
Perjalanan menggunakan sarana kereta api ini hampir tidak pernah terpikirkan oleh saya dan Non, sebab kami berdua pernah merasakan trauma ketika pernah suatu ketika saya dan non pulang dari Magelang ke Surabaya naik kereta api, waktu itu kami membawa Ibu yang akan dolan ke Surabaya dan karena kereta api yang saya tumpangi penuh sesak dan kami sekeluarga tidak mendapatkan kursi di kereta api, maka sampai-sampai kami mendapat tempat di dekat kamar kecil, coba bayangkan perjalanan jauh dari Magelang ke Surabaya dengan kereta api yang penuh sesak penumpang dan harus duduk dekat kamar kecil, uh….tentu kejadian ini tak kan terlupakan sampai sekarang, kami kasihan dengan ibu waktu itu, yang akibat kurangnya pengalaman kami naik kereta sehingga harus membuat ibu dan kami rela menikmati pulang ke Surabaya dengan perasaan yang sangat tidak nyaman.
Itulah pengalaman saya dan Non, sehingga mengapa sampai kini kami jika pulang ke Magelang tidak terpikirkan sedikitpun untuk menggunakan kereta api.


Tapi mengapa liburan lebaran tahun ini kami tiba-tiba ingin sekali menggunakan kereta api ? apakah karena memang kami harus mengikuti keinginan si kecil atau kita harus mencoba kembali menggunakan jasa angkutan kereta api ini ? entalah ……….
Satu minggu sebelum kami libur hari raya, kami mencoba untuk mencari-cari informasi tentang kereta api jurusan Surabaya – Magelang di stasiun Gubeng.
Di satisun itu saya mendapat informasi bahwa ada banyak kereta api jurusan Surabaya-Magelang, dan setelah Tanya sana sini ami mendapat informasi bahwa kereta api yang cocok dengan keinginan saya adalah kereta api SANCAKA Executive yang berangkat pada sore hari jam 15.00 WIB dan akan tiba di Jogjakarta pada jam 20.00 WIB.
Hari itu kami tidak langsung reservasi membeli tiket dulu karena takut nanti kereta yang saya tumpangi jauh dari perkiraaan saya, inginnya sih sekalian mau melihat kondisi kereta api tersebut, tetapi Karena kami di stasiun sudah hampir petang jadi kami tidak bisa lagi melihat kondisi dalamnya kereta api Sancaka, baru ke esok harinya saya dan non sebelum jam 15.00 sore sudah sampai di stasiun Gubeng dan bisa melihat lebih jelas kereta api yang akan kita tumpangi beberapa hari lagi.
Setelah ternyata kereta api itu cocok menurut Non akhirnya sore itu juga kami pesan tiket untuk 4 orang hari Jum’at [ lebaran pertama ] dan ternyata kami tidak kesulitan untuk memperoleh karcis jurusan tersbut, kami tidak menyangka bahwa pada hari lebaran ini kami mudah mendapatkan tiket, dalam benak saya, pasti lebaran seperti ini kereta api sudah penuh terisi dan kami akan kesulitan memperoleh karrcis. Tetapi ternyata dugaan saya meleset, saya memperoleh karcis dengan mudah dan yang lebih bersyukur lagi kami mendapat kursi yang berurutan, oh…..tentu akan menjadi perjalanan yang meyenangkan harapan saya.

Lebaran Hari Pertama :
Hari pertama lebaran, seperti biasanya sampai siamg hari kami habiskan di rumah Surabaya,
Setelah saya, non dan anak-anak sunkem ke ibu, maka kegiatan selanjutnya adalah mempersiapkan segala sesuatunya di rumah, karena sebentar lagi rumah ini akan menjadi ramai oleh tamu-tamu saudara-saudara yang datang.
Tentu hari itu menjadi hari yang paling sibuk dari hari-hari biasanya, karena ibu mertua termasuk urutan yang paling tua dalam kekerbatan, maka pasti seluruh anak-anak, paman, keponaka, cucu dan mantu akan bertandang di rumah kami, nah disaat itulah non akan sangat sibuk, meladeni para tamu lebaran, meski di rumah sdh dibantu sama adik ipar masih saja dirumah kelihatan sangat sibuk, dan itu akan berlangsung sampai pada siang hari
Selesai setengah siang, keadaan rumah sudah mulai berangsur sepi, karena hanya beberapa tamu saja yang datang, dan baisanya yg dating adalah tetangga kiri kanan kami, sehingga masih dikatakan santai.
Sampai pada jam 14.00 siang saya sekeluarga harus berkemas-kemas karena seperti dalam jadwal keberangkatan kereta api akan berangkat jam 15.00 sore, sehingga saya harus segera berangkat maximal sampai di stasiun Gubeng tidak lebih dari jam 14.30. karena tak ingin kami ketingalan kereta, maklum baru pertama sekeluarga naik kereta jadi rasanya sangat tidak enak. Gimana gitu….
Sampai di Stasiun Gubeng suasana tidak begitu sangat ramai, tidak seperti perkiraan saya sebab hari khan hari lebaran, penumpang pasti akan membudlak, eh…ternyata bener-bener bisa saya katakana lenggang, didalam stasiun tampak bersih dan enak, bahkan PT Kereta Api sendiri telah banyak merubah tampilannya, lain dengan dulu yang terasa kuno, tapi sekarang sudah terasa modern, lihat saja.pengantri karcis bisa teratur, dan tidak membludak, karena oleh kereta api pembelian ticket KA ini juga bisa secara online jadi tidak harus berdesak-desak an di loket.

Di stasiun masih ada waktu sebelum kereta berangkat, jadi kami bisa gunakan untuk melihat-lihat suasana dalam stasiun, juga membidik keponakan-keponakan yang nganter.
Mendekati jam 15.00 sore kami harus segera naik kereta api, karena sehari sebelumnya kami sudah melihat keadaan kereta yang akan saya tumpangi hari ini, saya jadi tahu persis sebelah mana gerbomng yang akan kita tumpangi, sehingga dengan mudah saya mendapatkannya.
Didalam gerbong kereta api, suasana juga enak, kursinya bersih dan penumpang tidak berjubel sehingga akan mengurangi kenyamanan naik kereta api dan tepat jam 15.00 wib kereta berangkat.
Dalam kereta non dan anak-anak sangat menikmati perjalanan ini, mereka sempat bercanda bahkan beberapa kali memesan makanan dan minuman yang mereka suka, sungguh perjalanan ini seperti perjalanan wisata yang benar-benar indah dan enak.
Sepanjang perjalanan kami tak henti-hentinya bercanda, makan dan minum, sesekali membuka internet karena kebetulan di kereta ini juga disediakan steker untuk aliran listrik, sehingga benar perjalanan ini tak terasa kalau menempuh perjalanan yang relative jauh antara Surabaya dan Jogjakarta, jadi kesan kereta api itu lambat, telat dan kumuh hari itu jadi lain dengan saya dan keluarga naik kereta api sancaka ini.
Tidak terasa waktu yang 5 jam perjalanan antara Surabay dan Jogja ini terlewati dengan merasa begitu cepat, persis seperti dalam jadwal jam 20.00 WIB Kereta sudah merapat di staisun Tugu, Jogjakarta, stasiun dimana kami sekeluarga harus turun untuk meneruskan perjalanan ke Magelang.
Sampai di Jogja kami sejeluarga sudah di jemout dengan kedua adik saya yang laki2, Yanto dan cipto, juga tidak ketinggalan keponakan-keponakan saya yang kecil-kecil.
Kami langsung naik kendaraan dan menuju ke Magelang yang jaraknya c]lumayan juga, karena hampir 1 jam perjalanan menuju rumah Magelang.
Sampai di rumah Magelang hari sudah malam, hampir Jam 22.00 WIB, setelah kami semua berbenah, kami tidak langsung tidur, anak-anak malah kelihatan asyik dengan saudara-saudaranya yang lain, saya sendiri malah asyik ngbrol digarasi yang di set menjadi ruang santai, karena jelas dengan satu rumah dihuni beberpa keluarga, rumah kelihatan menjadi sempit, maka untuk lebih kelihatan lega, bapak sengaja menata garasi depan di set menjadi ruang santai untuk duduk2, nah disinilah kami selama hari raya selalu berbincang-bincang santai dengan Bapak, Ibu dan adik-adik yang lain.
Ahirnya karena kami masih saling kangen karena hampir setahun kita tak ketemu dengan kedua adik saya, maka ngobrol ngalor ngidulnya jadi larut malam, dan setelah bener-bener ngantuk baru saya berangkat tidur.

Lebaran Hari Kedua :
Seperti lebaran-lebaran tahun lalu, kegiatan pagi dirumah setelah berbenah kami biasanya selalu sarapan pagi. Diluar rumah, bukan karena kami tidk suka masakan ibu di rumah, tapi benar karena kami semata hanya ingin memanjakan lidah ini dengan makanan khas Magelang dan biasa kami sekeluarga sarapan soto yang ada di dekat kami tingal dan sudah menjadi langganan kami sekeluarga, yaitu warung soto mBah Mul yang ada di bawah SMA Negeri 1.
Makan di warung soto mBah Mul ini selalu menjadi seperti keharusan yang tidak boleh ditinggalkan setiap kami pulang ke Magelang, apalagi libir lebaran, kami sekeluarga, bahkan selalu mengajak Bapak dan Ibu, adik-adik serta semua keponakan untuk sekedar ngiras disini, makan secara bareng ini bagi saya dan istri selalu membawa kenangan tersendiri makanya seperti harus makan soto meski harus berbondong-bondong dr rumah ke tempat ini, tapi untuk tahun ini tidak semua keluarga kita bawa kesini tapi hanya sebagian. Seperti dqalm foto dibawah ini.
Selesai sarapan pagi kami lansung pulang, biasanya sih selalu saya mengantar ibu pergi ke pasar Tukangan, tapi kali ini tidak pergi karena ibu sendiri di rumah sedang sibuk menyiapkan segala sesuatu di rumah dan kami langsung pulang ke rumah.
Jam 09.30 saya sudah sampai di Borobudur International golf and contry club, tempat saya dan teman lama semasa sekolah di SMEA Negeri Magelang dulu bertemu untuk melakukan REUNI.
Saya sengaja datang lebih awal karena ingin mempersiapkan lebih dulu agar acara nantinya bisa berjalan dengan lancer, dan sampai di tempat ini sudah ada dulu 2 teman saya yang dating lebih awal ketimbang saya
Dan semakin siang teman-teman semakin banyak terus berdatangan dan ini membuat kami dan seluruh teman-teman yang dating manjadi terhibur.
Bagi saya dan bekas satu kelas kami, reuni ini adalah reuni yang kedua setelah tahun yang lalu kita telah ber reuni untuk yang pertama setalah 26 tahun kita tak pernah saling ketemu.
Meski kami sudah pernah reuni, tetapi banyak temen yang dating saat ini belum pernah juga ketemu selama bertahun-tahun, karena reuni tahun ini tidak dilaksankan hanya kelas saya , tetapi kelas-kelas yang lain dan lain jurusan tetapi masih angkatan nyang sama, yaitu angkatan tahun 1983.
Namanya reuni, karena sudah lama tak ketemu, terus ketemu dalam satu tempat, pastinya akan membawa cerita yang lain yang menggembirakan dan inilah yang membuat saya tidak tahu waktu, sehingga dengan tidak disadari waktu sudah menunjukkan pada sore hari.
Oh ya, ada yang ketinggalan. Di reuni saya juga mengajak si Non, anak serta keponkan-keponakan untuk ikut, karena saya ingin semua juga ikut menikmati acara saya dan tentu bisa wisata kuliner di tempat ini.
Selesai acara reuni kami langsung pulang, pinginnya sih ingin jalan-jalan ke kota, tapi karena saat itu hujan deras maka kami putuskan untuk segra pulang ke rumah, sekalian ingin beristirahat.
Malam hari saya ingin sekali menikmati nasi goring Magelangan, biasa..nasi goring dicampur balungan…inilah menu kesukaan saya, tetapi karena Non gak mau karena capai ikut acara saya siang sampai sore tadi, maka saya meminta adik saya untuk membelikan nasi goring kesukaan saya itu., dan saya hanya bisa menikmati nasi goreng ini di rumah, tidak di warungnya, emang lain rasanya kalau harus makan di rumah dibanding dengan makan di tempat penjualnya.
Itulah kegiatan saya di hari kedua di magelang…….Cuma dapet soto, reuni dan nasi bungkus nasi goreng Magelangan.

Lebaran Hari Ketiga :
Hari ketiga ini seperti yang sudah menjadi jadwal rencana saya sebelumnya, saya lahi –lagi melakukan acara pertemuan, kali ini saya melakukan pertemuan dengan anggota Millist Warga Ambarawa.
Pasti saudara bertanya, kenapa kok ikut millist warga Ambarawa. Wah panjang dam menarik ceritanya, pokonya nanti saya ceritakan di lain waktu….karena ini adalah cerita special….hehehehehe.
Sampai di kota Ambarawa hari sudah siang, karena acara direncanakan jam 12.00, tapi acara baru dimulai jam 13.00, karena ternyata ketemu dengan saudara-saudara millist Ambarawa yang selama ini hanya ketemu di dunia maya dan menjadi ketemu di darat menjadikan pertemuan terkesan gayeng dan penuh rasa kangen, saking guyubnya acara jadi molor, heheheh…biasa.
Rampung acara ini hari sudah sore, sebetulnya saya masih ingin berlama-lama di pendopo tempat pertemuan ini dilaksankan, tapi karena hari sudah sore dan kebetulan hari sudah mendung saya segera meninggalkan pendopo untuk pulang ke Magelang.
Itulah kegiatan saya lebaran di hari ketiga, karena memakan waktu dan tenaga maka pastinya hari ini saya langsung banayak istirahat tidur-tiduran berssma keluarga di rumah.
Oh ya untuk acara di Ambarawa ini coba nanti saya akan menulisbta tersendiri di lain kesempatan.

Lebaran Hari Keempat :
Hari ke empat ini adalah hari terakhir saya berada di magelang untuk berlebaran pulang mudik tahun 2010 ini, sebab pagi itu juga keluarga saya pulang ke Surabaya dan keluarga adik saya harus pulang ke pasuruan untuk melanjutkan lebaramn di rumah mertua adik saya.
Kami berangkat bersama-sama dari terminal Magelang pada jam 08.00 WIB, dengan harapan sampai di Surabaya hari masih sore dan kami masih bisa beristirahat, karena esoknya saya harus masuk kerja kembali.
Naik bus pulang ke Surabaya ternyata setalah sekian lama tak naik bus rasanya pikiran saya seperti mengingat dulu-dulu ketika kita pulang dari mudik Magelang, tidur dalam perjalanan di bus dan harus dibangunin di tengah-tengah perjalanan pulang karena hastus mampir makan…..uh…sungguh pengalaman yang tak terlupalan, karena perjalan ini selalu saya lakukan ketika saya harus pulang ke Magelang dan kembali ke Surabaya atau, sebaliknya…..
Inilah perjalanan terlama yang pernah saya lakukan ketika harus naik bus, biasanya kami pulang ke Surabaya memakan waktu 6-7 jam dan smpai terminal, eh ternya tahun ini memakan waktu 16 jam perjalanan….oh……………capeknya tentu.
Sungguh ini perjalanan yang membuat kami bener-bener bisa menikmati setiap jam perjalanan karena arus mudik yang sampai pada titik maksimalnya, dan tidak akan saya lupakan, karena baru tahun inilah saya bisa pulang bersama dengan adik saya dan keluarganya dan bisa makan bareng di tengah perjalanan pulang.
Semogaq perjalanan liburan ini baik di Magelang maupun di perjalanan akan membawa pengalaman yang tak akan kita lupakan, dan akan menjadi cerita anak-anak untuk teman-temannya, bahwa pulang mudik lebaran itu sesuatu yang hangat dan menggembirakan.

Lanjut Kang......

10 Agustus 2010

Kecantikan Jember Fashion Carnaval 2010

Bagai sebuah pertunjukan fashion yang gegap gempita yang tertata apik dan menarik, sebuah pertunjukan yang spektakuler telah dihadirkan di sepanjang jalan utama di kota Jember, sepanjang kurang lebih 3,6 km. dari alun-alun sampai di Sport Hall Jember (gor) bak cat walk yang tergelar bagi para peserta yang mempersembahkan berbagai seni fashion dalam acara JEMBER FASHION CARNAWAL ( JFC )yang mana tahun 2010 ini untuk yang ke sembilan kalinya.

Lanjut Kang......

1 Agustus 2010

Suku Kajang - Makna sebuah Kesederhanaan

1. Awal mula.
Setelah beberapa waktu yang lalu saya mencoba menulis tentang suku terasing yang ada di Sulawesi, khususnya yang ada di Sulawesi Tengah yaiyu suku Tau Ta'a Wana, sayapun masih tertarik dengan keberadaan suku-suku terasing lainnya yang masih juga ada di Sulawesi.
Kali ini saya mencoba merangkai kembali beberapa tulisan yang saya peroleh dari berbagai sumber yang mengulas tentang kelompok masyarakat adat / suku KAJANG.
Menulis sedikit tentang kehidupan suku yang masih asing (pedalaman) yang ada di tanah air bagi saya pribadi selain, nerupakan memuaskan "klangenan" pada tata cara atau kehidupan masyarakat yang masih asli juga, setidaknya kita akan mendapat pelajaran yang sangat penting dari sebuah kehidupan / adat istiadat yang masih terjaga keberadaannya, dengan demikian kita akan mendapatkan pelajaran kehidupan dan nilai-nilai yang tingi yang ada pada masyarakat tersebut yang menurut saya pribadi sudah sangat langka kita temui di jaman yang serba modern ini.
2. Profil.
Suku Kajang terdapat di pedalaman Makasar, Kecamatan Kajang Propinsi Sulawesi Selatan, sekitar 250 Km. dari Kota Makasar, dan beberapa orang mengatakan bahwa suku Kajang merupakan peninggalan zaman Megalitikan di Indonesia.
Untuk menuju kawasan adat Ammatoa, dimana suku kajang bertempat tinggal, seluruh warga harus melewati pos, dan dari pos inilah seluruh ketentuan adat mulai berlaku.Termasuk tamu harus menggunakan pakaian adat atau pakaian serba hitam. Pos ini juga merupakan simbol mulai berlakunya hukum adat masyarakat Kajang yang berpedoman pada kitab wasiat masyarakat Kajang yang masih dipegang teguh, sehingga segala bentuk peradaban dari luar tidak akan mereka terima.

Daerah yang disebut TANA TOA ini sangat memegang teguh adat yang sudah turun temurun disana, adat Ammatoa,begitulah masyarakat Kajang menyebutnya sangat jauh berbeda jauh dengan masyarakat pada umumnya, seperti kita ini dimana modernisasi sudah akrab dengan kita.
Memasuki daerah adat Tana Toa ke dusun Benteng ( tempat tinggal suku kajang ) hanya bisa dilakukan dengan berjalan kaki, kendaraan tidak boleh memasuki area ini.
Ternyata jalan-jalan disini sudah tertata rapi, disepanjang jalan terdapat rumah-rumah adat (Bolah) yang kesemuanya menghadap ke Barat, arah membelakangi hutan yang ada di tanah Toa.
Kawasan adat Ammatoa terkesan asri, ini tercipta karena pemimpin adat atau Ammatoa yang dibantu lima pemuka adat, secara keras menjalankan peraturan adat, bahkan kerasnya kepala adat/Ammatoa dapat dilihat dari rumah milik orang yang dianggap suci tersebut. Rumah pemimpin adat ini terlihat paling jelek, dindingnya terbuat dari bambu, sedangkan lima pemuka adat lainnya memiliki rumah lebih baik dari Ammatoa, namun dalam melaksanakan kepimimpinannya lima pemimpin adat ini dikenakan ontrak sosial, artinya mereka dapat diberhentikan dari jabatannya jika berbuat kesalahan yang mana kesalahan ini dilihat dari gejala alam, maka jika terjadi kebakaran, tanah longsor, gempa maka mereka akan mengudurkan diri menjadi pemuka adat.

3. Menyoal kehidupan Suku kajang.
Luas sawah milik suku Kajang yang terletak jauh dari tempat tinggalnya merupakan anugerah tersendiri.
Dengan sawah yang luas dan menghasilkan berton-ton padi setiap tahun, warga suku kajang selalu terhindar dari bahaya kelaparan. Anugerah ini disyukuri oleh segenap warga, sehingga setiap habis panen mereka selalu menggelar upacara adat yang bertujuan sebagai ucapan terima kasih kepada sang Pencipta, upacara ini disebut RUMATANG yang langsung dipimpin oleh Ammatoa.

Seperti yang dikatakan oleh tokoh adat suku Kajang, Mansyur Embas, bahwa masyarakat suku Kajang di Tana Toa selalu hidup dalam kesederhanaan, Didalam rumah mereka tidak ada satupun perabotan rumah tangga, kursi, kasur dan tidak menggunakan peralatan elektronik, mereka menganggap bahwa modernitas dapat menjauhkan suku Kajang dengan alam dan para leluhurnya.
Bagi masyarakat Kajang, modernitas juga dianggap sebagai pengaruh yang dapat menyimpang dari aturan adat dan ajaran leluhur, mereka tidak mudah menerima budaya dari luar.
Kesederhanaan suku Kajang juga dapat dilihat dari bentuk rumah Kajan, dimana rumah dibangun dari bahan yang sama.
Tidak hanya rumah, pakaian yang mereka gunakan pun sama yaitu berpakaian hitam, karena mereka mengaggap bahwa warna hitam melambangkan kesederhanaan dan kesamaan antar sesama masyarakat kajang.
Warna hitam juga merupakan symbol pengingat agar mereka selalu ingat akan dunia akhir atau kematian. Untuk menghadapi kematian setiap masyarakat kajang haruslah mempersiapkan diri sebaik mungkin, sejak mereka dilahirkan, mereka selalu berbuat baik, menjaga alam, patuh terhadap Pencipta Tuhan Yang Maha Esa dan Ajaran leluhur.
Bagi masyarakat Kajang, ajaran para leluhur memiliki arti penting, begitu pentingnya, mereka selalu menjalankan berbagai aktifitas kehidupan berdasarkan tradisi leluhur dan aturan leluhur ini juga selalu mengikat kehidupan mereka.
Selain patuh terhadap adat Ammatoa suku Kajang juga memiliki kepercayaan agama;ajaran PATUNTUNG namanya, PAtuntung jika dalam bahasa Makassar adalah mencari sumber kebenaran, berdasarkan ajaran tersebut jika manusia ingin mencari sumber kebenaran mereka harus menjalankan tiga pilah hidup yaitu:
a. Menghormati TURIEK ARAKHNA yaitu, Tuhan
b. menghormati Tanah pemberian Tuhan
c. Menghormati Nenek Moyang / leluhur.
menghormati Turiek Arakhna / Tuhan adalah merupakan hal yang paling penting mendasar dalam ajaran Patuntung, dan mereka percaya bahwa Tuhan menurunkan perintah kepada orang yang pertama di tanah Toa, orang yang disebut Ammatoa dan karenanya seorang Ammatoa dianggap sebagai orang yang suci.Mereka benar-benar menjaga kesucian tokoh ini dan tak seorangpun diperbolehkan memiliki rekaman wajahnya.
Ditanah kajang, masyarakat tidak hanya harus patuh pada Patntung dan Ammatoa, mereka juga wajib menghormati kaum perempuan.
Posisi perempuan didalam adat sangat -sangat dihormato, selaku figur warna masyarakat yang harus selalu kita kedepankan, ialah penghormatan terhadap wanita, salah satu contoh, didesa itu tak ada banyak sumur, maka didalam sumur itu ada perempuan maka laki-laki tak boleh masuk dan harus menunggu sampai benar-benar wanita itu selesai baru kita boleh memakainya" demikian kira-kira yang dikatakan oleh Mansyur Embas mrnceritakan dalam hal penghormatan suku Kajang terhadap Perempuan.

4. Upacara Adat Ammatoa.
Seperti kita ketahui bahwa, dalam masayarakat pedalaman yang ada di Indonesia, selalu memiliki berbagai upacara adat yang berkaitan dengan kehidipan keseharian mereka dalam berkomunitas, selain merupakan tradisi juga merupakan simbol terhadap penghargaan tradisi leluhur yang mesti dilestarikan oleh mereka, seperti upacara adat yang ada di masyarakat kajang.
Ada beberapa upacara adat yang ada di masyarakat Kajang, dan inilah sebagian upacara adatnya;
RUMATANG: upacara yang dilaksanakan oleh masyarakat Kajang ketika mereka selesai panen padi yang dipimpin langsung oleh pemimpin adat (Ammatoa).
Upacara ini dilaksankan sebagai simbol rasa syukur kepada Tuhan atas panen yang telah mereka terima.
Ritual BERSIH KUBUR; Mereka percaya dengan ritual bersih kubur, mereka bisa berkomunikasi dengan para leluhurnya, jika ada warga suku Kajang yang tidak tinggal di daerah itu, maka pada saat dilaksankan ritual bersih kubur ini mereka harus datang dan hadir. Dan sebagai simbol ketaatan mereka terhadap adat Ammatoa, ritual bersih kubur ini dilakukan setiap tahun, yaitu pada tanggal 24 bulan Ramadhon dalam Hijriah, dan saat waktunya upacara tiba masyarakat Kajang berkumpul di makam BOHETOMI yaitu, makam Ammatoa pertama suku Kajang.

5. Suku Kajang Kini.
Seperti saya tulis terdahulu, Suku Kajang dibagi menjadi dua kelompok-kelompok suku Kajang yaitu; Suku Kajang Dalam dan Suku Kajang Luar.
Suku Kajang luar maksudnya bahwa kelompok ini berdiam atau bertempat tinggal diluar hutan, walaupin bertempat tinggal diluar hutan tetapi mereka masih tinggal di rumah-rumah panggung dan sudah tidak lagi memakai pakaian serba hitam, dan membaur dengan masyarakat sekitar.

Suku Kajang Dalam, makin tergeser dari tanah leluhurnya, dan puncaknya pada peristiwa konflik dengan sebuah perusahaan yang ada disana, dimana tanah yang mereka anggap sebagai tanah leluhurnya telah diserobot oleh perusahaan itu, dan suku Kajang diserang oleh kelompok mereka dan karenanya suku kajang menjadi terpencar-pencar ke desa-desa yang lain, dan malah ada yang lari ke Malaysia dan tak diketahui nasibnya.
Kepala suku Kajang, Ammatoa merasa tersingung dan prihatin terhadap warganya dan mereka pula telah diusir dari tanah leluhurnya.
Pada tahun 1990 suku Kajang telah memenangkan gugatannya terhadap perusahaan itu untuk tanah leluhurnya yang seluas 540 hektar, tapi kerusuhan muncul kembali, setelah perusahaan itu menggerakkan masa untuk menyerobot tanah suku Kajang, tetapi anehnya penggusuran tanah itu dibantu oleh aparat.
Seperti kita ketahui suku Kajang telah hidup ditanah itu ratusan tahun yang lalu, sedangkan perusahaan itu baru berdiri pada tahun 1906.
Dari hal tersebut kita bisa tahu siapa yang sebenarnya jadi penyerobot, akankah suku-suku pedalaman di Indonesia akan terus tergusur ? san siapa yang bertanggung jawab atas semua ini ? ......entahlah !!!!


sumber :


-->

-->http://kamroni.com
-->http://id.voi.co.id
-->http://id.voi.co.id

Lanjut Kang......

9 Juli 2010

Suku Tau Ta'a Wana, Menengok kearifan suku terasing

1. Pengantar.
Entah mengapa saya tiba-tiba ingin mengulas lebih banyak sebuah suku terasing yang ada di pedalaman Cagar Alam Morowali ( CAM ), Sulawesi Tengah.
Dan entah terdorong rasa apa saya, ingin kembali meneruskan tulisan saya tentang adat Suku Wana ini, seperti yang pernah saya tulis disini beberapa tahun yang silam.Sejak itulah saya sangat tertarik dengan segala sisi kehidupan suku terasing ini, bukan karena keaslian mereka yang sungguh menjadikan saya tertarik tetapi, mungkin secara jujur dalam hati saya ini tersimpan hal-hal yang sangat saya sukai pada hal-hal yang bersifat petualangan ke tempat terpencil seperti pada suku Wana ini.
Dan yang sangat menggangu pikiran saya bahwa keinginan untuk pergi mempelajari tempat-tempat di pelosok tanah air yang hingga sampai saat ini belum pernah sekalipun terwujud.
Meski mungkin tulisan ini sifatnya sangat sederhana dan jauh dari sempurna dan hanya melakukan perangkuman dari beberapa tulisan yang saya ambil dari beberapa situs terkait setidaknya, dengan tulisan ini saya bisa sedikit mempelajari sebuah suku pedalaman yang ada di Indonesia ini tanpa harus menjelajahi tempat dimana suku ini berada. Dan yang saat ini seperti sudah saya katakan, saya akan sedikit merangkum beberapa tulisan tentang suku TO WANA.

Landscap Morowali

2. Profil.
Tau Ta'a Wana atau berbagai kalangan masyarakat menyebutnya sebagai suku Wana adalah salah satu dari ribuan kelompok masyarakat adat yang terdapat di wilayah Cagar Alam Morowali, Sulawesi tengah.
Secara etnografis, Tau (orang) Ta'a atau orang Wana merupakan sub etnis dari kelompok etnolinguistik Pamona, yang mendiami wilayah-wilayah sekitar sungai Bongka, Ulubongke, Bungku Utara dan Barong.
Pada umumnya Tao Ta'a Wana tersebar di bagian timur dan timur laut CA Morowali sampai bagian barat pegunungan Batui ( Kab. Banggai) dan pegunungan balingara ( Kab. Tojo Una-una ) an terkosentrasi di sekitar gunung Tokala,Kotopasa dan gunung lumut.
Tidak mudah untuk mendapati keterasingan mereka, dari kota Kolonodale, paling tidak kita membutuhkan waktu hingga 3 - 4 hari untuk menjangkau kampung terdekat, itupun harus menyusuri jalan setapak sekitar dua hari serta naik turun bukit.
To Wana berarti orang dalam hutan, kata ini berasal dari bahasa Mori dan konon sebutan To Wana dipopulerkan oleh orang Mori.
peta-pemukiman-suku-wana.

Dalam lingkungan etnik Tau Taa sendiri meskipun kata To Wana tidak dikenal dalam bahasa mereka, namun tafsir sosiografis ini juga dikukuhkan oleh komunitas etnik Tau Taa yang telah mengalami sentuhan pembangunan dan telah hidup dalam tata pemerintahan desa, akan tetapi sebagai " Tao Taa Wana" lebih pas diberikan kepada mereka yang hidup secara tradisional di kawasan hutan.
Bahasa sehari-hari yang dipakai oleh suku Wana adalah bahasa Wana yang disebut juga dengan dialek Taa.

Dalam sebuah catatan disebutkan bahwa, suku To Wana dibagi dalam 4 suku besar yaitu : 1. Suku Brangas 2. Suku Kasiala 3. Suku Posangke 4. Suku Untunu Ve (hulu sungai)
Dalam catatan yang sama, bahasa Ta'a adalah bahasa yang paling banyak digunakan disekitar kawasan pesisir dan dataran rendah disekitar cagar alam Morowali.
Dan yang disebut masyarakat adat Ta'a Wana adalah kelompok Wana yang bermukim di pedalaman hutan dan pegunungan, mereka percaya bahwa akar leluhur mereka adalah satu berasal dari Tundantana, wilayah Kaju Marangka yang ada di kawasan Cagar Alam Morowali.
Kalangan antropolog mengenal mereka sebagai masyarakat Peburu dan Peramu, artinya mereka menggantungkan hidupnya pada berburu dan meramu binatang atau hewan yang didapatnya. Orang Wana dikenal memiliki ketrampilan berburu dan memasang jerat hewan yang handal, karena mengikuti pergerakan untuk berburu binatang, dulunya mereka rajin berpindah-pindah tempat tinggal.

Danau Morowali
Pada umumnya wilayah adat Tau Ta'a Wana tersebar di bagian timur dan timur laut Cagar Alam Morowali sampai bagian barat pegunungan Batui ( kab. banggai) dan pegunungan balingara ( Kab. Tojo Una-una ) dan terkosentrasi di sekitar gunung Tokala,Kotopasa dan gunung lumut.
Tidak mudah untuk mendapati eterasingan mereka, dari kota Kolonodale, paling tidak kita membutuhkan waktu hingga 3 - 4 hari untuk menjangkau kampung terdekat, itupun harus menyusuri jalan setapak sekitar dua hari serta naik turun bukit, dengan luas sekitar 629,2 km2 atau 69,29 hektar.
4. Kepercayaan.
Kelompok masyarakat Tau Ta'a Wana rata-rata masih memeluk agama dan kepercayaan leluhurnya yaitu Halek / Khalaik, walau sebagian sudah memeluk agama Islam dan Kristen yang jumlahnya sedikit, dan pada umumnya mereka masih melakukan ritual-ritual peribadatan dan meyakini konsep-konsep pandangan dunia yang menjadi dasar agama leluhurnya.
Dalam keyakinannya, mereka akan mengucilkan warganya, bila didapati memeluk agama diluar Halek/Khalik.
Karena mereka hidup dalam wilayah pedalaman maka lingkungan alam sekitar mereka yaitu tanah dan hutan sebagai penopang hidup dan kehidupan masyarakatnya, sehingga kearifan lingkungan menjadi gantungan mereka, mereka percaya adanya Ruh ( spirit ) yang menjaga dan memelihara setiap jengkal tanah dan hutan maka, ketika terjadi kerusakan terhadap lingkungan itu merupakan tanda murkanya sang penjaga.

Maka sebagai penyeimbang atas kejadian-kejadian alam masyarakat Tau Ta'a Wana lantas memberi memberi persembahan atau sesajen ( Kapongo ) yang terdiri dari Sirih,Pinang,kapr dan Tembakau yang diletakkan dalam suatu "rumah" yang tingginya kira-kira 40-50 cm dari tanah.
Bahkan karena ketergantungan mereka degan alam, maka orang Wana banyak melakukan ritual pemberian sesaji/kapongo di beberapa kegiatan kemasyarakatan mereka, misalnya ;
a. Membangunaka = untuk menanam padi
b. Mmposo kiopo = membuka ladang
c. mangingka kapongo = mengambil roran
d. Memperapi Uja = meminta hujan
e. Memperapi Eo = meminta matahari bersinar terang
Namun justru untuk mendirikan rumah suku Wana tidak melakukan upacara Kapongo, dalam mendirikan rumah orang Wana benar-benar berpatokan semata-mata pada selera belaka, ini membuktikan bahwa cara pandang mereka terhadap alam lebih penting dibandingkan dengan tempat tinggal.

Penguasaan terhadap hal-hal yang berhubungan dengan hutan tercermin dari klasifikasi/katagori mereka terhadap hasil hutan dalam 22 katagori untuk rotan dan lain-lain.

6. Sistem Pertanian.
Sistem pertanian yang dipakai adalah sitem perladanga dengan penebangan hutan sekunder, memakai alat-alat sederhana, tentu terlebih dahulu melakukan Kapongo dan pembukaan hutan tersebut disesuaikan dengan jenis ladang yang dibutuhkan.

Mereka juga membangun Kepe Pamuja Kodi yaitu, pondok kecil yang berfungsi sebagai tempat istirahaTanaman padi ladang merupakan tanaman yang penting bagi masyarakat Tau Ta'a (Wana) di Morowali, sebagai bahan pokok kehidupan mereka. Untuk tanaman semusim masyarakat Tau Wana tidak melakukan pengolahan tanah, dimana lahan yang habis dibakar langsung ditinggal untuk ditanami dengan benih padi
Sejak penanaman sampai pemanenan tidak mendapatkan perlakuan apapun, tanaman hanya bergantung pada daya dukung lingkungannya, terutama iklim. Tanaman padi ladang panen pada umurnya 4-5 bulan tergantung dari varietas yang ditanam.
Padi yang habis dipanen bulirnya diikat kemudian dijemur dan disimpan dalam lumbung yang terbuat dari kayu, dan akan ditumbuk dalam lesung jika mereka membutuhkan sesuai dengan kebutuhan konsumsi.

Selain padi/beras makanan pokok mereka adalah Ubi Kayu, ubi diambil dari sarinya / kanjinya untuk direbus dan dikonsumsi sebagai makanan pokok.
Pola pemukiman dan lahan pertanian secara berpindah merupakan pola yang berlangsung sampai sekarang.Pembukaan lahan untuk kepentingan pemukiman dan pertanian komunitas To Wana mengikuti dua pola.
Pola pertama, dan yang terbesar adalah pola perluasan langsung dan kedua pola berpencar.
Komunitas Tau Ta'a Wana juga mengenal sistem pembagian wilayah, yaitu :
a. Pangale : Kawasan hutan rimba yang dianggap sebagai kawasan sumber kehidupan.
b. Yopo : Kawasan sekunder, termasuk alang-alang yang merupakan bekas kebun lama
c. Navu: Adalah lahan pertanian rakyat
d. Pakanavu : Wilayah / lokasi bekas kebun yang baru di tinggalkan.

Menurut Ketua Adat Kayupoli ( Pak/Om Jima ), bahwa dalam membuka hutan untuk menjadi lahan pemukiman dan pertanian ada beberapa hal yang menjadi perhatian :
a. Hutan tersebut bukan hutan lokasi larangan
b. Hutan yang akan dibuka dirasa aman dari banjir dan longsor
c. Hutan yang dibuka harus memiliki pohon besar-besar sebagai ciri lahan itu subur.

Diluar kesibukan sebagai peladang, orang Wana juga melakukan pencarian hasil hutan sambil mengadakan perburuhan, pada umumnya kaum pria yang mencari rotan karena pertimbangan resiko, tetapi ada juga beberapa wanita yang melakukan, lokasi pencarian rotan biasanya todak jauh-jauh dari lingkungan mereka dan pola pencarian damar diantara suku-suku To Wana adalah sama, tetapi secara khusus pengambilan rotan pada daerah Kajopoli lebih banyak dilakukan daripada damar dari daerah lainnya.

Dalam pencarian rotan dan damar atau lainnya dilakukan juga perburan, dan perburuan ini dilakukan dengan 2 cara yaitu aktif dan pasif.
Aktif yaitu dengan jalan menggunakan sumpit (manyopu) dan pasif dengan cara memasang jerat.
ada 2 macam sumpit, yaitu yang beracun dan tidak beracun, yang beracun biasanya anak sumpit pada ujungnya diberi racun yang sangat mematikan yang disebut Limpo (berasal dari pohon limpo).
Perburuan ini bagi masyarakat Wana bukanlah merupakan pekerjaan utama, oleh karenanya tidak ada upacara khusus untuk ini.

Ada catatan yang perlu ditulis disini :
Suku Wana dulunya bermukim di kawasan pesisir, ketika kesultanan Islam melakukan expansi dan memaksa mereka untuk berpindah keyakinan dan membayar upeti mereka menolak dan merekapun memilih untuk masuk kehutan demi untuk menghindari.
Lalu mereka masuk kehutan dan membangun surga barunya sendiri disana, sejak itulah mereka disebut sebagai To Wana yang berarti "orang hutan".
Ketika Belanda Masuk, mereka menjadi sasaran pengejaran untuk memeluk agama Kristen, sambil memenuhi kewajiban membayar pajak, padahal lokasi mereka jauh dari hiruk pikuk keramaian, lagi-lagi mereka menolak dan merekapun terus bergerak masuk makin kedalam hutan, dan kembalilah mereka membangun surganya sendiri.

bahkan setelah Indonesia merdeka, ternyata mereka merasa tidak merdeka, karena aparat membujuknya untuk bermukim diluar hutan dan bujukan itu dibarengi dengan pamrih agar mereka menganut agama yang diakui oleh pemerintah.
Maka, dengan berpindah tempat dan lebih jauh masuk kedalam hutan mereka menghi ndar dan membangun surga untuk komunitasnya.
Semboyan mereka adalah : Tare kampung ( tanpa kampung ), Tare Agama ( tanpa agama ), Tare Pamarentah ( tanpa pemerintah , dan semboyan ini merupakan "piagam Hijrah" mereka. artinya Selamanya mereka akan menjadi komunitas adat yang bermukim di tengah hutan, dan tidak bersangkut paut dengan masyarakat lain termasuk pemerintah.
Warga suku Wana, seperti masyarakat adat lainnya merupakan kumpulan orang-orang yang tidak terlalu banyak mengumbar nafsu duniawi, mereka menggantungkan hidup sepenuhnya pada alam.

7. Hari esok suku To Wana
Ada tudingan bahwa kehadiran orang Wana di cagar alam Morowali akan merusak lingkungan hutan cagar alam mungkin akan menjadi benar, kalau di lihat dari perilaku orang Wana di pesisir belakangan ini, tapi perilaku yang demikian itu disebabkan oleh perkenalan mereka dengan ekonomi kota.
Untuk hal tersebut diatas maka perlu pengetahuan adat dan pengembalian pengetahuan asli yang akanmenyadarkan mereka tentang jatidii mereka dan, hal-hal mereka adalah alternatif yang mungkin bisa dilakukan untuk menjembatani al ini dan kearifan sangat mutlak diperlukan dalam menghadapi orang Wana, kalau tidak suku Wana dengan segala bentuk keunikan budayanya hanya akan menjadi "sejarah" belaka, padahal sku to Wana ini bisa dijadikan simbol penggambaran sejarah peradaban umat manusia dan dengan menjadikan masyarakat To Wana sebagai Cultural Heritage Site adalah jawaban yang dianggap paling masuk akal.

diambil dari berbagai sumber :
http://www.interseksi.org
http://blogcatalog.com
http://etnofilm.wordpress.com
http://lorelindu.wordpress.com
Dan tulisan ini disampaikan sebagai bentuk appresiasi penulis untuk suku Tau Ta'a Wana

Lanjut Kang......

29 Juni 2010

Pada suatu sore.......

 
Seroja Jingga Dari Tanah Seberang


Hujan baru saja selesai
Cahaya dinanti dari arah barat
Untung belum berubah

Seroja kuning telah basah di punggung rindu
Lembut menerbarkan kenangan hangat.




Surabaya, 29.06.2010
[ untuk sahabat yang tak pernah dekat di selatan kotaku tercinta ] 
foto diambil dari google

Lanjut Kang......

14 Juni 2010

Sore di Pabean, melihat saudara kita juga



Sore di Pasar Pabean
Terang sebentar lagi kita tinggalkan kawan......
dan digantikan dengan malam
seperti malam-malam kemarin
kita masih disini :
bercengkrama dengan bau amis
serta tumpukan ikan-ikan didepan kita.
dinginnya bongkahan batu es,
sesaknya orang-orang berjubel,
dan semua itu.....,
masih nafas hidup kita.
Sepatu ini masih harus kita pakai
karena jalan disini becek, basah dan kotor
tapi inilah keseharian kita
bau amis adalah detak kehidupan
beceknya lumpur adalah jalanan hidup
dan semua ini adalah detak jantung kita
yang akan selalu menjalar dalam
malam-malam kita selanjutnya
aku melihat kehidupan kawan bersama ikan-ikan

[Untuk sedulur yang bergumul dengan kehidupannya sendiri.....aku masih menjadi temanmu....]

Lanjut Kang......

3 Juni 2010

Menyelinap, menemukan sebagian kerinduan pada tanah leluhurku

Tak terasa sudah hampir setengah tahun lebih sejak saya bersama keluarga Desember 2009 yang lalu tak pernah lagi kembali ke Magelang, maka ketika si kecil [anak saya] mendapat kesempatan untuk berlibur dengan sekolahnya ke Jogjakarta maka, kesempatan ini juga akan kugunakan untuk  mengawal si kecil sekalian pulang ke kampung halamanku.
Saya terpaksa harus berangkat dari Surabaya pada pagi hari, bagi kami perjalanan pada pagi hari tidak biasa, sering kami berangkat pada malam hari untuk ke Magelang, selain tidak ramai di jalan, sesampainya di tujuan hari masih pagi, sehingga perjalanan akan efisien dam menghemat waktu.
Hari itu saya kira-kira jam 08.00 WIB, jadi kami terlambat untuk berangkat selama kurang lebih hampir 2 jam, dari jadwal yang telah ditentukan, karena bus yang akan kita tumpangi beritanya terjadi kecelakaan kecil menuju ke tempat kami berkumpul, saya sudah menduga bahwa keterlambatan ini pasti acara-acara yang telah disusun akan mengalami perubahan dan perkiraan yang paling buruk adalah akan kehilangan kesempatan untuk menikmati keindahanan candi prambanan yang ada di wilayah Prambanan.
Sedikit catatatn, karena hari itu adalah hari Jum'at maka dalam perjalanan saya mencoba untuk mencari masjid untk sholat jum'at dan saya menemulan masjid Nurul Huda di desa Sawo, Karangjati-Ngawi.

Seperti yang telah menjadi rencana awal perjalanan ini, bahwa perjalanan hari pertama ini akan tiba di Candi Prambanan pada jam 14.00 atau 15.00 WIB, namun karena keberangkatan yang molor tentu kesempatan pertama untuk menikmati kemegahan candi Prambanan terpaksa diutungkan pada sore itu, karena sampai di Prambanan waktu sudah menunjukkan pukul 17.00 WIB atau kurang yang jelas kalau harus dipaksankan masuk ke wisata ini, waktunya sangat tidak dimungkinkan, saya saja yan sudah mendahuui datang di lokasi ini sudah jam 16.30. padahal ticket masuk menurut informasi yg saya terima dari petugasbya dijual terakhir jam 17.00 WIB, dan lokasi ditutup jam 17.30, ya karena keadaan itu rombongan terpaksa jalan terus dan langsung menuju ke tempat penginapan.
Tiba di penginapan hari sudah mulai malam, saya sudah tiba duluan ketimbang di hotel yang terletak tak jauh dari keraton jogjakarta itu, hotelnya tidak terlalu besar dan menurut tukang becak [ kebetulan orang Magelang] yang saya tanyai mengatakan kalau hotel ini baru, belum ada 2 tahun, jadi ya banyak orang yg beluam tahu, dan ini menjadi kan masalah kecil ketika saya harus tanya sana sini untuk mengetahui dimana lokasi hotel ini.
Dan setelah menunggu beberapa saat akhirnya rombongan anak kami sudah datang, setelah mengemas dan menata tas bawaan adik dikamarnya saya kemudian meneruskan perjalanan lagi menuju ke Magelang, karena saya tak ingin sampai di Magelang larut malam.
Sampai di Magelang jam kira-kira sudah menunjukkan pukul 20.30 WIB. dan sudah ditunggu oleh bapak, ibu serta keponakan-keponakan di rumah Magelang, istirahat sebentar, mandi dan berbenah saya langsung mengajak semua untuk makan, karena sejak siang, saya, istri dan mbak perut belum terisi makan.
Malam itu saya ingin makan nasi goreng khas kota ini, saya langsung menuju ketempat yang tak jauh dari pusat kota dan sudah menjadi langganan saya beberapa tahun terkahir ini kalau saya pulang ke Magelang, yaitu di sebuah tempat makan yang ada di muka penjara [LP].



Seperti biasa, saya langsung pesan nasi goreng tapi ditambah potongan tulang serta mie godog, dan seperti yang aku bayangkan, cita rasa masakan Magelang ini sangat khas di mulut dan lidah saya, saya masih inget benar kalau cita rasa seperti ini hanya bisa dinikmati di Magelang dan daerah di sekitarnya, coba bayangkan, masak nasi goreng dengan angklo dan bara api dari areng, pasti tak kebayang aroma dan panasnya, jelas cita rasa yang dihasilkan tak akan mudah dilupakan, dan yang paling menjadi kek khusannya adalah masaknya adalah satu persatu, artinya walauapun pesan satu atau sepuluh atau berapa porsi saja, makan akan dimasak satu persatu, inilah yang membedakan cara masak Magelangan dengan cara masak yg lain.
Selesai kami makan malam, sayapun langsung pulang ke rumah dan sampai di rumah saya langsung mak blessssssssssssss..............dan ngorok lagi, Wzzzzz...Wzzzzz..........krk...krk....... !!!

Sabtu, 29 Mei 2010
Pagi sekali saya sudah bangun, karena saya sudah janji dengan Non untuk jalan-jalan pagi, dan saya melakukan jalan pagi ini di daerah sekitar tempat tinggal akmi, yang ada di daerah Karet, Giriloyo.
Saya berjalan menyusuri kampung-kampung, Karet, Jagoan dan dan kembali kerumah, menyusuri jalan-jalan disekitar tempat tinggal kami pada pagi hari sangatlah membikin hati ini terasa ayem dan tentu membangkitkan lagi memorabilia ketika saya masih hidup di kota yang bersih dan sejuk ini.
Sampai di rmah sayapun sebentar istirahat dan setelah beberapa saat mandi pagi saya mengajak Non untuk mencari sarapan pagi, sengaja memang ibu, bapak dan keponakan tidak ikut, karena keponakan-keponakan hari itu masih sekolah, ibu serta bapak yang setiap pagi menyiapkan keperluan mereka, pagi itu saya sekali lagi makan yang menjadi kegemaran kami setiap pagi kalau sedang pulang kampung yaitu, makan soto dan pilihan saya makan soto yang ada di Jl. Majapahit.


Menikmati soto khas Magelang di pagi hari dan dikota sendiri, sekarang akan mambawa suasana dan sensasi rasa yang lain, barangkali apa yang saya katakan ini tidak berlebihan, sebab di perantauan makan soto dengan rasa khas kota kelahiran selain sulit didapat tentu rasanya akan berbeda jika kita menikmati soto yang sama, kalau anda tak percaya, coba tanyakan apada orang-orang Magelang yang lahir di kota kecil ini tapi sekarang berada di perantauan, tentu akan sependapat dengan saya.
Selesai menikmati menu sarapan soto, saya berdua langsung ingun berputar-putar lagi menikmati kota ini, meski sering juga kita pulang, tapi ketika kita berkesempatan mudik maka inginnya kita selalu ingin keliling kota magelang, walau hanya sekedar menikmati suasana kota, syukur-syukur bisa ketemu sahabat lama dan bernostalgia segala hal yang pernah tersisa dikota ini.
Jajan soto di tempat ini tak pakai lama, biasa karea kita hanya makan berdua sama Non, jadi saya buru-buru pulang kerumah untuk beristirahat sebentar, tapi ada sesuatu yang menarik pandangan saya ketika saya menuju pulang, saya sempat menyaksikan seni instalasi dari sebuah rumah seni yang ada di dekat kampung saya yang lama, sesuatu yang membuat saya harus turun dari kendaraan untuk lebih dekat menyaksikan hasil karya seni ini


Dan sampai di rumah saya langsung istirahat karena siangnya acaraya akan padat di jogjakarta menemani si kecil  menungunjungi beberapa obyek wisata.
Berangkat ke Jogja, kira-kira hari sudah agak siang, karena saya harus menunggu keponakan-keponakan pulang dari sekolah, saya berangkat sekalian dengan Bapak dan ibu, sebab sengaja saya mengajak orang tuaku karena saya ingin menemukan si kecil dengan mbah Uti dan mBah Kungnya, sebab perkiraan saya si kecil gak ada kesemoatan ketemu dengan mereka lagi, kalau tak sekalian saya temukan.
Sampai di Jogja sudah siang, dan si kecil sudah mengunjungi beberapa tempat, Kraton juga Taman Sari, dan siang itu saya ketemu dengan adik [ si kecil ] di Taman Pintar.
Meski sering ke Jogjakarta, tapi untuk singgah di Taman Pintar ya baru kali ini, memang keberadaan taman ini mungkin belum begitu lama, dilihat dari keberadaan fasilitas yang ada, yang masih relatif tampak baru, dan secara kebetulan saya mengetahu kalau lokasi ini dekat dengan gedung Taman Budaya Jogjakarta, sehingga dengan tanpa sengaja saya bisa menikmati lebih dekat dengan gedung yang satu ini, karena saat itu turun hujan yang cykup lebat maka, jadwal waktu disana agak molor karena menunggu hujan reda untuk kemudian si kecil melanjutkan perjalanan pulang ke hotel
Setelah berputar-putar di sekitar Taman Pintar dan juga juga menengok gedung Taman Budaya tanpa terasa hari sudah agak sore, dan karena kami ada keinginan menghadiri kopdar BALA TIDAR di Magelang rombongan kami segera pulang menuju Magelang lagi, dan perjalanan yang biasanya kami tempuh selama satu sampai satu setengah jam jadi molor sampai dua jam karena jalan yang hendak masuk ke Magelang [ biasa ] selalu macet karena jalannya memang sempit, apalagi saat itu jalan antara Blondo sampai mau masuk ke Magelang[ Armada ] sedang dilaksanakan perbaikan pelebaran jalan, otomatis ini juga menjadi salah satu penyebab kemacetan di ruas jalan ini, dan i ilah gsalah satu sebab sehingga saya tiba di Magelang sudah selepas Mahgrib, padahal sebelumnya saya di jogja sudah mengontak temen di Alon-alon bahwa saya diperkirakan tiba disana jam 17 WIB, tapi ya......karena ada hambatan tadi ditambah memang di jalan juga kendaraan banyak maka jalan kami jadi terlambat sampai di Alon-alon.
Sampai di Alon-alon hari sudah sangat gelap, sehingga mata yang rabun ini harus mencari-cari dimana sahabat blogger ini berada, tapi karena kita sudah dulu saling telpon-telpon an maka lokasi ringin tengah [ lokasi favorit gethukan ] segera aku samperin dan, disana sudah menunggu 3 sahabat bala tidar, tiga anak muda yang umurnya jauh dibawah saya dan malah bisa dikatakan seumuran dengan anak saya, yah langsung salam-salaman dan karena kita belum sholat langsung kita menuju ke masjid besar untuk melaksankan sholat dulu.
Selang tidak begitu lama saya selesai dan kami mengajak mereka untuk mencari tempat yang enak dan agak terang, dan saya temukan tempat yang cukup baik yaitu di tikar panjang milik bapak penjual bakso itu.
Dan setelah bebrapa saat kita ngomong-ngomong saya baru tahu kalau sahabat bala tidar itu namanya MAS YUDHA, MAS KUKUH DAN MAS FAISOL [ kata anak saya ], kita malam itu ngomong gayeng, sedikit berkenalan dengan saya,istri ,anak serta keponakan-keponakan saya, dan dari perbincangan yang gayeng itu saya sempat kecewa, karena sebetulnya tadi banyak bala tidar yang hadir tapi karena saya datangnya sangat terlambat maka sebagian bala tidar yang soree harinya sudah datang, banyak yang sudah pulang, untuk ini saya mengucapkan banyak terima kasih kepada Mas Yudha, Mas Kukuh dan Mas Faisol yang sudah dengan sangat sabar menunggu saya hingga Maghrib, karena saya mendapat kemacetan saya dari Jogja dan saya mohon maaf kepada bala tidar yang lain yang sudah menunggu tapi tak sempat ketemu saya, padahal saya sudah ingin sekali ketemu mereka, mungkin di lain kali dan kesempatan yang baik kita bisa ketemu disana.
Beberapa saat kita berngobrol ria, ngalor ngidul yang gayeng dengan bala tidar membuat saya lupa bahwa saya harus menyudahi pertemuan ini karena, saya akan kembali ke Jogja untuk menemani si kecil yang ingin jalan-jalan malam di Malioboro, sekali lagi terima kasih untuk bala tidar yang malam itu berkenan menemani saya dan keluarga saya, sekali lahi terima kasih dan sampaikan salam saya untuk sahabat bala tidar yang lain.
Selesai saya pulang sebentar ke Magelang menemui sahabat bala tidar, saya langsung menuju kembali ke Jogja, dan karena dalam perjalanan lancar maka sampai di Jogja belum begitu malam, dan langsung saya menuju ke hotel adik kemudian mengajaknya keluar jalan-jalan ke Malioboro seperti yang adik minta dalam telponnya.
Seperti biasa karena di Jalan Malioboro hari sudah malam maka, banyak penjual souvenir yang sudah tutup jadi malam itu kami tak dapat membeli banyak oleh-oleh untuk sekedar cindera mata, dan seperti permintaan si adik, kita malam itu lansung mencari tempat makan.
Makan malam di Malioboro dengan Non, anak-anak serta keponakan-keponakan adalah saat yang sangat menyenangkan, bagi saya bukan makanan yang kita santap itu yang bikin suasana menyenangkan, tapi kebersamaan dengan seluruh keluaga dan keponakan itulah yang menjadi beda dengan makan yang lain, seperti kita sore tadi ketika ketika makan bersama dengan Bala Tidarm bukan makanannya tapi kebersamaan itu yang membuat pertemuan itu berkesan.
Selesai beberpa lama kita makan dan menikmati malam di Jalan Malioboro membuat badan ini terasa capai dan tak terasa malam sudah mencapai laritnya, maka setelah kita puas maka saya mengantar adik untuk pulang ke tempat mereka menginap dan saya meneruskan perjalan ke Magelang untuk pulang.
Pagi harinya sebelum saya berpamitan untuk pulang ke Surabaya saya menyempatkan untuk sarapan pagi di tempat yang selalu saya kunjungi bila kita di Magelang dan untuk sarapan pagi yaitu di warung soto MBAH MUL, yang berada di dekat lokasi Taman Kayai Langgeng.
Seperti biasa di warung soto in, kembali lidah saya dimanjakan dengan soto khas Magelangan yang selalu dan selalu menjadi kerinduan untuk selalu mencicipi soto yang segar dan gurih ini, makan soto dengan menggigit satau usus, ditambah gigitan tempe goreng, wah rasanya masih teringat terus.Selesai sarapan pagi saya terus pulang dan tidak lama kemudian sesampainya di rumah saya pamit pada bapak juga ibu untuk melanjutkan perjalanan dan selanjutnya pulang ke Surabaya.
Setengah siang setelah saya pamit dengan orang tuaku, saya dan rombongan melaju menuju ke candi Borobudur, karena siang itu rombongan anak saya sudah berada disana, dan sesampainya disana saya langsung ketemu dengan anak saya.
maksudnya sih gak ikut masuk kedalam komplek candi, tapi berhubung saya ingin men foto-foto anak saya, saya terpaksa sendiri masuk dan menemani si kecil, sementara non dan mbak nunggu di pintu keluar saja.
Didalam sebelum saya tiba di pelataran candi saya sempat menyaksikan 2 acara yang berbeda, yang satu acara seni patung, karena memang saya melihat orang yang diumuri sebangsa tanah basah atau dalam bahasa jawanya lendut.
Patung atau Manusia ?
Sudut lain dari sebuah bentuk berkesenian......

Sewaktu kecil kesenian kuda lumping [ jathilan ] sudah terbiasa saya saksikan, tapi ketika lama tak menemukan ini, dan bisa menyaksikan kembali kesenian ini tentu membawa kesan tersendiri, cantik dan menarik hati.

ini dulu saya menyebutnya dengan BARONGAN, meski seharusnya lengkap seperti bentuk naga, tapi ini hanya kepala yang berbentuk raksasa [ butho].
Inilah sebagian rombongan dari sekolah anak saya, dari SDN Kaliasin III-Surabaya.


Selesai menikmati yang sebenarnya enggak nikmat menurut saya, saya mengikuti rombongan meneruskan perjalanan ke Candi Prambanan, karena jarak Borobudur dengan Candi Prambanan lumayan jauh, maka saya putuskan untuk lebih dulu mendahului rombongan anak saya sebab saya ingin sampai di Prambanan lebih dulu dan saya dapat menikmati istirahata beberapa saat sebelum akhirnya nanti kita akan sama-sama pulang dari Prambanan.
Sampai di prambanan anak-anak sudah agak sore jadi pas betul udaranya tak begitu panas, apalagi sudah terasa mendung disana. sehingga anak-anak dan romobongan tidak terasa kepanasan selama menikmati keindahan Candi Hindu tertinggi di tanah Jawa ini.
Mengelilingi sebagian dari candi Prambanan tidaklah memakan waktu dan tenaga, sebab selain area candi yang tidak besar dibanding dengan Borobudur dan dalam cuaca yang mendung, sungguh bisa menikamti candi dengan tidak merasakan kepanasan.
Sungguh perjalanan mengikuti tour anak ini selain anak yang mendapatkan banyak pengalamam selama tour ini, saya, non dan mbak Ella juga mendapat hiburan yang menyenangkan, selain melihat kembali tempat-tempat wisata yang pernah saya kunjungi, juga beberapa tempat yang belum pernah saya kunjungi, tentu dengan suasana yang hangat dan menyenangkan.
Seperti tulisan yang ada dalam t-shirt saya : SANG PEMIMPI, inilah perjalanan seorang bapak dengan keluarga yang memimpikan suasana keakraban dan menyenangkan, seperti sebuah MIMPI yang indah setalah kita bangun dari tidur, semoga........!!!!!!

Lanjut Kang......