1 Agustus 2010

Suku Kajang - Makna sebuah Kesederhanaan

1. Awal mula.
Setelah beberapa waktu yang lalu saya mencoba menulis tentang suku terasing yang ada di Sulawesi, khususnya yang ada di Sulawesi Tengah yaiyu suku Tau Ta'a Wana, sayapun masih tertarik dengan keberadaan suku-suku terasing lainnya yang masih juga ada di Sulawesi.
Kali ini saya mencoba merangkai kembali beberapa tulisan yang saya peroleh dari berbagai sumber yang mengulas tentang kelompok masyarakat adat / suku KAJANG.
Menulis sedikit tentang kehidupan suku yang masih asing (pedalaman) yang ada di tanah air bagi saya pribadi selain, nerupakan memuaskan "klangenan" pada tata cara atau kehidupan masyarakat yang masih asli juga, setidaknya kita akan mendapat pelajaran yang sangat penting dari sebuah kehidupan / adat istiadat yang masih terjaga keberadaannya, dengan demikian kita akan mendapatkan pelajaran kehidupan dan nilai-nilai yang tingi yang ada pada masyarakat tersebut yang menurut saya pribadi sudah sangat langka kita temui di jaman yang serba modern ini.
2. Profil.
Suku Kajang terdapat di pedalaman Makasar, Kecamatan Kajang Propinsi Sulawesi Selatan, sekitar 250 Km. dari Kota Makasar, dan beberapa orang mengatakan bahwa suku Kajang merupakan peninggalan zaman Megalitikan di Indonesia.
Untuk menuju kawasan adat Ammatoa, dimana suku kajang bertempat tinggal, seluruh warga harus melewati pos, dan dari pos inilah seluruh ketentuan adat mulai berlaku.Termasuk tamu harus menggunakan pakaian adat atau pakaian serba hitam. Pos ini juga merupakan simbol mulai berlakunya hukum adat masyarakat Kajang yang berpedoman pada kitab wasiat masyarakat Kajang yang masih dipegang teguh, sehingga segala bentuk peradaban dari luar tidak akan mereka terima.

Daerah yang disebut TANA TOA ini sangat memegang teguh adat yang sudah turun temurun disana, adat Ammatoa,begitulah masyarakat Kajang menyebutnya sangat jauh berbeda jauh dengan masyarakat pada umumnya, seperti kita ini dimana modernisasi sudah akrab dengan kita.
Memasuki daerah adat Tana Toa ke dusun Benteng ( tempat tinggal suku kajang ) hanya bisa dilakukan dengan berjalan kaki, kendaraan tidak boleh memasuki area ini.
Ternyata jalan-jalan disini sudah tertata rapi, disepanjang jalan terdapat rumah-rumah adat (Bolah) yang kesemuanya menghadap ke Barat, arah membelakangi hutan yang ada di tanah Toa.
Kawasan adat Ammatoa terkesan asri, ini tercipta karena pemimpin adat atau Ammatoa yang dibantu lima pemuka adat, secara keras menjalankan peraturan adat, bahkan kerasnya kepala adat/Ammatoa dapat dilihat dari rumah milik orang yang dianggap suci tersebut. Rumah pemimpin adat ini terlihat paling jelek, dindingnya terbuat dari bambu, sedangkan lima pemuka adat lainnya memiliki rumah lebih baik dari Ammatoa, namun dalam melaksanakan kepimimpinannya lima pemimpin adat ini dikenakan ontrak sosial, artinya mereka dapat diberhentikan dari jabatannya jika berbuat kesalahan yang mana kesalahan ini dilihat dari gejala alam, maka jika terjadi kebakaran, tanah longsor, gempa maka mereka akan mengudurkan diri menjadi pemuka adat.

3. Menyoal kehidupan Suku kajang.
Luas sawah milik suku Kajang yang terletak jauh dari tempat tinggalnya merupakan anugerah tersendiri.
Dengan sawah yang luas dan menghasilkan berton-ton padi setiap tahun, warga suku kajang selalu terhindar dari bahaya kelaparan. Anugerah ini disyukuri oleh segenap warga, sehingga setiap habis panen mereka selalu menggelar upacara adat yang bertujuan sebagai ucapan terima kasih kepada sang Pencipta, upacara ini disebut RUMATANG yang langsung dipimpin oleh Ammatoa.

Seperti yang dikatakan oleh tokoh adat suku Kajang, Mansyur Embas, bahwa masyarakat suku Kajang di Tana Toa selalu hidup dalam kesederhanaan, Didalam rumah mereka tidak ada satupun perabotan rumah tangga, kursi, kasur dan tidak menggunakan peralatan elektronik, mereka menganggap bahwa modernitas dapat menjauhkan suku Kajang dengan alam dan para leluhurnya.
Bagi masyarakat Kajang, modernitas juga dianggap sebagai pengaruh yang dapat menyimpang dari aturan adat dan ajaran leluhur, mereka tidak mudah menerima budaya dari luar.
Kesederhanaan suku Kajang juga dapat dilihat dari bentuk rumah Kajan, dimana rumah dibangun dari bahan yang sama.
Tidak hanya rumah, pakaian yang mereka gunakan pun sama yaitu berpakaian hitam, karena mereka mengaggap bahwa warna hitam melambangkan kesederhanaan dan kesamaan antar sesama masyarakat kajang.
Warna hitam juga merupakan symbol pengingat agar mereka selalu ingat akan dunia akhir atau kematian. Untuk menghadapi kematian setiap masyarakat kajang haruslah mempersiapkan diri sebaik mungkin, sejak mereka dilahirkan, mereka selalu berbuat baik, menjaga alam, patuh terhadap Pencipta Tuhan Yang Maha Esa dan Ajaran leluhur.
Bagi masyarakat Kajang, ajaran para leluhur memiliki arti penting, begitu pentingnya, mereka selalu menjalankan berbagai aktifitas kehidupan berdasarkan tradisi leluhur dan aturan leluhur ini juga selalu mengikat kehidupan mereka.
Selain patuh terhadap adat Ammatoa suku Kajang juga memiliki kepercayaan agama;ajaran PATUNTUNG namanya, PAtuntung jika dalam bahasa Makassar adalah mencari sumber kebenaran, berdasarkan ajaran tersebut jika manusia ingin mencari sumber kebenaran mereka harus menjalankan tiga pilah hidup yaitu:
a. Menghormati TURIEK ARAKHNA yaitu, Tuhan
b. menghormati Tanah pemberian Tuhan
c. Menghormati Nenek Moyang / leluhur.
menghormati Turiek Arakhna / Tuhan adalah merupakan hal yang paling penting mendasar dalam ajaran Patuntung, dan mereka percaya bahwa Tuhan menurunkan perintah kepada orang yang pertama di tanah Toa, orang yang disebut Ammatoa dan karenanya seorang Ammatoa dianggap sebagai orang yang suci.Mereka benar-benar menjaga kesucian tokoh ini dan tak seorangpun diperbolehkan memiliki rekaman wajahnya.
Ditanah kajang, masyarakat tidak hanya harus patuh pada Patntung dan Ammatoa, mereka juga wajib menghormati kaum perempuan.
Posisi perempuan didalam adat sangat -sangat dihormato, selaku figur warna masyarakat yang harus selalu kita kedepankan, ialah penghormatan terhadap wanita, salah satu contoh, didesa itu tak ada banyak sumur, maka didalam sumur itu ada perempuan maka laki-laki tak boleh masuk dan harus menunggu sampai benar-benar wanita itu selesai baru kita boleh memakainya" demikian kira-kira yang dikatakan oleh Mansyur Embas mrnceritakan dalam hal penghormatan suku Kajang terhadap Perempuan.

4. Upacara Adat Ammatoa.
Seperti kita ketahui bahwa, dalam masayarakat pedalaman yang ada di Indonesia, selalu memiliki berbagai upacara adat yang berkaitan dengan kehidipan keseharian mereka dalam berkomunitas, selain merupakan tradisi juga merupakan simbol terhadap penghargaan tradisi leluhur yang mesti dilestarikan oleh mereka, seperti upacara adat yang ada di masyarakat kajang.
Ada beberapa upacara adat yang ada di masyarakat Kajang, dan inilah sebagian upacara adatnya;
RUMATANG: upacara yang dilaksanakan oleh masyarakat Kajang ketika mereka selesai panen padi yang dipimpin langsung oleh pemimpin adat (Ammatoa).
Upacara ini dilaksankan sebagai simbol rasa syukur kepada Tuhan atas panen yang telah mereka terima.
Ritual BERSIH KUBUR; Mereka percaya dengan ritual bersih kubur, mereka bisa berkomunikasi dengan para leluhurnya, jika ada warga suku Kajang yang tidak tinggal di daerah itu, maka pada saat dilaksankan ritual bersih kubur ini mereka harus datang dan hadir. Dan sebagai simbol ketaatan mereka terhadap adat Ammatoa, ritual bersih kubur ini dilakukan setiap tahun, yaitu pada tanggal 24 bulan Ramadhon dalam Hijriah, dan saat waktunya upacara tiba masyarakat Kajang berkumpul di makam BOHETOMI yaitu, makam Ammatoa pertama suku Kajang.

5. Suku Kajang Kini.
Seperti saya tulis terdahulu, Suku Kajang dibagi menjadi dua kelompok-kelompok suku Kajang yaitu; Suku Kajang Dalam dan Suku Kajang Luar.
Suku Kajang luar maksudnya bahwa kelompok ini berdiam atau bertempat tinggal diluar hutan, walaupin bertempat tinggal diluar hutan tetapi mereka masih tinggal di rumah-rumah panggung dan sudah tidak lagi memakai pakaian serba hitam, dan membaur dengan masyarakat sekitar.

Suku Kajang Dalam, makin tergeser dari tanah leluhurnya, dan puncaknya pada peristiwa konflik dengan sebuah perusahaan yang ada disana, dimana tanah yang mereka anggap sebagai tanah leluhurnya telah diserobot oleh perusahaan itu, dan suku Kajang diserang oleh kelompok mereka dan karenanya suku kajang menjadi terpencar-pencar ke desa-desa yang lain, dan malah ada yang lari ke Malaysia dan tak diketahui nasibnya.
Kepala suku Kajang, Ammatoa merasa tersingung dan prihatin terhadap warganya dan mereka pula telah diusir dari tanah leluhurnya.
Pada tahun 1990 suku Kajang telah memenangkan gugatannya terhadap perusahaan itu untuk tanah leluhurnya yang seluas 540 hektar, tapi kerusuhan muncul kembali, setelah perusahaan itu menggerakkan masa untuk menyerobot tanah suku Kajang, tetapi anehnya penggusuran tanah itu dibantu oleh aparat.
Seperti kita ketahui suku Kajang telah hidup ditanah itu ratusan tahun yang lalu, sedangkan perusahaan itu baru berdiri pada tahun 1906.
Dari hal tersebut kita bisa tahu siapa yang sebenarnya jadi penyerobot, akankah suku-suku pedalaman di Indonesia akan terus tergusur ? san siapa yang bertanggung jawab atas semua ini ? ......entahlah !!!!


sumber :


-->

-->http://kamroni.com
-->http://id.voi.co.id
-->http://id.voi.co.id

3 komentar:

ikhsan mengatakan...

kalo di jawa mungkin Baduwi ya pak eko

Kang Eko mengatakan...

ya...secara idelaisme hidup sama, tp pada hal2 tertentu tentu ada bedanya, yang jelas masyarakat seperti inilah masyarakat yang dicita2 kan Pancasila.

Anonim mengatakan...

Sungguh itu suatu kehidupan yang sebenarnya...

Posting Komentar