Hari-hari di Bulan Agustus ini seakan membawa suasana tersendiri bagi saya khususnya, selain Bulan ini adalah bulan untuk memperingati Hari Ulang Tahun Kemerdekaan Republik Indonesia yang ke 64, sayapun kali ini ingin sekali jelajah kota mengunjungi tempat-tempat yang mempunyai nilai historis bagi perjuangan bangsa Indonesia, sudah 3 tempat yang telah aku kunjungi beberapa tempat yang dapat mengingatkan dan menambah wawasan serta kecintaan saya pada semangat para pejuang yang telah gugur mendahului kita.
Jelajah kota untuk yang ke empat kalinya di bulan Agustus ini saya hendak mengunjungi sebuah rumah yang berada di Surabaya juga, yang belum lama ini menjadi perbingcangan di beberapa mas media, khususnya media yang ada di Surabaya, yaitu Bangunan Cagar Budaya / Rumah Wafat Wage Rudolf Soepratman, sang pencipta lagu Kebangsaan kita INDONESIA RAYA.
Menyusuri Surabaya di siang hari, sungguh membuat badan gerah karena sengatan matahari siang yang tembus ke badan, tapi tak menyurutkan saya untuk jelajah kota menengok, atau kalau tidak boleh dikatakan mengenang, salah satu rumah yang menjadi pratanda akan sepak terjang si penggesek biola ini.
Mencari rumah yang saya maksud tidaklah mudah, karena ternyata setelah saya tanya kesana kemari ke pengemudi becak barulah saya diberi arah, kemana saya harus menuju ke Jl. Mangga, seperti jelajah kota yang lain, saya selalu tidak punya data yang rinci perihal tempat-tempat yang akan saya kunjungi, tapi karena berbekal tidak malu untuk bertanya dan semangat ingin sekali menyaksikan secara dekat akhirnya dapat juga ketemu yang saya cari.
Terletak di Jl. Mangga No. 21, Surabaya, yaitu sebelah Barat dari komplek Lapangan Tambaksari, di tengah-tengah perkampungan yang padat penduduk tersebut, disinilah berdiri rumah wafat W.R. Soepratman.
Melihat keadaan rumah itu, saya seakan terkejut, bahkan nyaris tidak percaya bahwa rumah yang seharusnya bisa dirawat dengan baik, setidaknya untuk mengenang jasa beliau, terlihat seakan dibiarkan begitu saja ( mungkin tdk dirawat ) sehingga terkesan kotor dan memilukan.
Menyaksikan rumah ini pikiran saya terus melayang ke suatu tempat yang belum lama saya kunjungi juga, yaitu rumah kediaman HOS Tjokroaminoto yang ada di Jl. Peneleh itu, keadaannya hampir tidak jauh beda, hanya mungkin rumah milik pak Tjokro masih agak kelihatan di rawat.
Melihat rumah wafat milik WR Soepratman ini sungguh nanar rasanya, betapa tidak ? karena rumah ini tidak tergolong besar dan ada di tengah-tengah perkampungan padat seharusnya kalau memang tidak adanya perhatian dari pemerintah kota, setidaknya masyarakat diseklilingnya bisa juga untuk sedikit peduli terhadap rumah tersebut, yang nota bene adalah rumah cagar budaya yang harus dilindugi dan dirawat keberadaanya, untuk dijadikan bukti sejarah dimasa yang akan datang.
Rumah mungin ber cat hijau ini selain tidak luas juga tidak mempunyai halaman yang cukup didepannya, dan menurut papan yang terdapat di depan rumah ini WR. Soepratman meninggal pada 17 Agustus 1938, jadi jauh sebelum dia mengenyam kemerdekaan Bangsa ini.
Namun begitu walaupun tidak luas ternyata masih ada saja seniman yang peduli untuk mebuatkan sebuah patung replika WR Soepratman yang sedang memainkan biola, patung tersebut (menurut prasasti yang ada dibawah patung) dibuat oleh 2 orang seniman yaitu Soerachman asal Surabaya dan M Thalib Pr. dari Sidoarjo.
Rumah kecil berbentuk kerucut ini merupakan rumah wafat WR Soepratman dan oleh Pemerintah Kota dijadikan Rumah Cagar Budaya dan menurut informasi yang saya dapat, oleh pemiliknya rumah ini dijual kepada Pemkot dengan harga Rp. 4,5 Milyard.
Memang sebuah harga yang tidak kecil bagi ukuran sebuah rumah yang kecil itu, tapi setidaknya janganlah melihat nilai tersebut, tapi lihatlah nilai historis yang terkandung dalam rumah itu, disanalah pernah tinggal dan wafat seorang seniman besar bangsa Indonesia yang karyanya sekarang selalu menjadi lagi kebangsaan Indonesia.
Setelah beberapa saat saya bisa menyaksikan secara dekat rumah bersejarah itu dan sempat memotretnya di beberapa sudut, dan merasa cukup maka sayapun dengan perasaan galau kupaksanakan meninggalkan tempat yang menjadi saksi sejarah tersebut.
Saya tidak bisa membayangkan, bagaimana rumah yang seharusnya menjadi saksi kebesaran bangsa ini harus rela dalam keadaan tak terurus, kotor dan tak terawat.
Apakah ada yang peduli seperti keinginan saya ?
angkringan Podo Mampir - tak sekedar angkringan
3 tahun yang lalu
8 komentar:
wah aku dadi ingat masa kecil saat berngkat/ pulang sekolah diSDN Salak aku selalu lewat depan rumah Sang Pencipta Lagu ..Kebangsaan NKRI Pahlawan yg kelahiran Kutoarjo dan di makamkan di Rangkah Surabaya.
saya baru taho kalo pak Supratman punya rumah di surabaya...
@Rafly: lha jenengan rumahnya dimana ? paling gak jauh2 dr sini ya mas ?
@bos datyo : klo gak salah, ini sih bukan rumahnya, ini rmh sahabatnya yg ditumpanginya krn diuber2 londo, sakit dan ,meninggal di tempat ini.
wah artikel yang bagus mas!
betul ..mas Eko,masa sklh sd sampai tamat di jl.ngaglik.gg sawo...trs saat ABG di jl.demak...,sejak 1981..cari nafkah di kal-tim,Insya' Alloh...3th lagi kembali .ke surabaya.
wah merantau sejak 1981..dimana itu mas ? Bontang, Balikpapan ?....tapi khan sering pulang to mas ?
Persiss..nya di Btng..mas Eko,klu ke Sby ...ya hampir tiap 3 bln se-x, sungkem O Tua karo ketmu Dolor2/konco lawas... opo maneh lek ilat iki kangen karo .."SATE KELOPO" ...he..he gak iso diempet !
sik...sik...sik....kangen sate klopo opo bakule sate klopo.........wis ojo mbujuk mas, hhehehehe.....
Posting Komentar